Festival Tabut Bengkulu baru saja usai. Lebih dari sekedar tontonan, tabut merupakan warisan sejarah yang mengandung kesedihan, semangat perjuangan, sekaligus kekayaan budaya yang langka di nusantara.
Namun, hingga kini, perdebatan tentang hakikat ritual Tabut belum juga reda. Di satu sisi, masyarakat menuntut pelestarian budaya. Di sisi lain, sebagian kalangan umat Islam mengkhawatirkan adanya unsur-unsur kesyirikan dalam praktik-praktik tertentu dalam prosesi Tabut.
Inilah tantangan sekaligus peluang. Justru di titik inilah pemerintah, tokoh agama, dan budayawan perlu menemukan jalan tengah yang adil: memurnikan nilai-nilai Tabut dari hal-hal yang bertentangan dengan akidah, sembari mengemasnya sebagai produk budaya yang layak menembus pentas internasional.
Langkah menuju harmoni ini tidak mudah, tetapi sangat mungkin. Pembedaan yang tegas antara ritual keagamaan yang bersifat pribadi dan spiritual dengan festival budaya yang terbuka dan edukatif perlu terus ditekankan. Nilai-nilai universal dari peringatan peristiwa Karbala—seperti pengorbanan, keberanian, dan cinta kebenaran—bisa menjadi pesan utama yang diangkat ke dunia, tanpa harus terseret pada praktik yang berpotensi melanggar prinsip tauhid.
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam merancang regulasi dan kurasi budaya yang selektif namun inklusif. Sementara itu, ormas Islam dan ulama harus hadir sebagai mitra dialog, bukan sekadar pengkritik. Mereka dapat memberi arahan agar semua elemen ritual yang berpotensi menimbulkan syirik dapat ditinjau ulang, dialihkan, atau bahkan dihapus, tanpa harus memadamkan semangat kebudayaan masyarakat.
Membawa Tabut ke panggung dunia tidak berarti menjual agama atau tradisi secara mentah. Justru, jika dikelola dengan cerdas, Tabut bisa menjadi model bagaimana warisan Islam dan budaya lokal bersinergi membentuk narasi besar yang mempersatukan, mendidik, dan menginspirasi umat manusia.
Tabut harus tetap hidup. Tapi hidup yang bermartabat—dalam bingkai tauhid yang lurus dan kekayaan budaya yang membanggakan.
