Kawan, jika kita berandai ada potongan Kue diatas meja depan untuk semua orang dalam satu ruangan, lantas siapa yang paling banyak kebagian? Bisa saja yang duduk paling belakang tidak kebagian, yang dapat tentu yang dekat dengan kue, yang kuat tangannya, dan yang cepat bergeraknya. Mereka kuat, dekat dan cepat itu kalau dalam realita kapitalis pasti punya kuasa, dana, dan sumber daya. Pada akhirnya inilah yang membuat si Kaya makin Kaya, dan yang miskin makin miskin. Begitulah bahaya kapitalis yang sebebas-bebasnya.
Tidak hanya itu saja, yang Kaya ini akan memagari ZONA nyaman industrinya dengan keterikatan pekerjaan dan kepentingan. Setiap pabrik yang didirikan pasti akan membuat Pagar yang nyata memisahkan antara pemodal dan pekerja. Tanah dibebaskan, dibayar ganti rugi seadanya, lalu dibuat pagarnya. Pagar disini bisa saja berupa pembatas antara pemodal dan pekerja. Masyarakat sekitar yang awalnya memanfaatkan tanah, kebun dan lingkungan tersebut mau tak mau karena tidak ada lagi lahan akhirnya bekerja sebagai buruh dengan modus rekrutmen tenaga lokal.
Disinilah letak kemenangan pemodal, para pekerja yang terikat mata pencaharian ini punya daya tawar yang rendah, tak bisa menuntut lebih terkait upah dan dampak lingkungan yang ditimbulkan kedepannya. Demi keberlangsungan Industri maka pekerja akan dibayar Upahnya saja yang cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari tidak lebih dan jauh sekali untuk membuat pekerja itu kaya.
Modus pembebasan lahan dan lainnya saya kira hanya akal-akalan saja untuk menguasai lahan masyarakat. Sejarah mencatat dari Awal kemunculan mesin uap lalu terjadi Industrialisasi di Eropa, revolusi Industri dan lainnya pada akhirnya membuat masyarakat sendiri selalu dirugikan.
Celakanya salah kaprah itu berlanjut pada pendirian sekolah, kini seakan lebih menyiapkan manusia pekerja saja daripada membuat manusia berpendidikan. Seorang sarjana akan dinilai dari apa pekerjaannya, padahal orang itu sekolah dan belajar hakikatnya untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia. Manusia yang terus belajar dan mengajarkan.
Sistem pasar kapitalis ini ternyata bukan hanya membuat pagar pada pabrik dan perusahaan saja, melainkan juga pada institusi mulia sekolah-sekolah. Guru yang seharusnya profesi mulia bukan produk kapitalis akhir-akhir ini sudah terkontaminasi sistem pasar juga. Lihatlah berapa banyak sarjana berebut "kue" demi mendapat kerja. Yang mendapatkan juga itu-itu saja yang kuat, yang berdana, dan yang berkuasa. Sebagian Rela menghalalkan segala cara hanya demi lulus Bekerja.
Kalau institusi pendidikan malah mengadopsi kapitalis ini pada akhirnya, pendidikan kita lebih dari pada perusahaan yang mencari untung, lalu para gurunya sama seperti buruh, dan produk yang dihasilkan juga hanya berupa produk pasar. Kasihan kalau insan terpelajar kita nantinya makin jauh dari ruh pendidikan dan pengajaran itu.
Indonesia ini unik, sejarah pendidikannya bukan seperti di barat yang lahir sebagai tuntutan memenuhi tenaga kerja Industri, akan tetapi disini lahir sebagai bentuk keinginan untuk menuntut ilmu, kerinduan untuk belajar, bukankan sebagai insan yang beragama maka kita diwajibkan untuk menuntut ilmu dan belajar sepanjang hayat. Sekolah lahir sebagai jawaban itu, bukan sebagai pemenuhan tuntutan pasar.
Memang miris hari buruh menyisakan duka, ini seakan milik buruh saja. Padahal berkaca pada kenyataan yang ada, para guru yang terlanjur berada di sistem ini kadang mengalami nasib tragis juga, bahkan lebih daripada buruh. Kalau buruh mending ada Upah minimum yang dibahas tiap tahunnya dan mengalami kenaikan. Kalau guru sulit sekali mendapatkan penghasilan layak.
Guru PNS dan bersertifikasi yang mewakili standar tertinggi penghasilan guru. Itu saja, kadang masih juga jadi sasaran kebijakan yang kurang berpihak. Mulai dari telat bayar tunjangannya, pemotongan hak, atau bahkan sulitnya administrasi guru yang dibebankan. Belum lagi guru swasta dan guru honorer, jangan ditanya lagi walau pergi pagi pulang petang, penuh keringat, banting tulang, soal penghasilan masih banyak dibawah Upah minimumnya buruh.
Mungkin perlu merubah mental guru untuk berfikir bukan seperti pekerja. Merdeka Belajar yang bukan sekedar bicara pembelajaran berpihak pada murid. Merdeka belajar itu baiknya membahagiakan semua orang, muridnya bahagia, gurunya juga bahagia. Dalam dunia ini yang kita inginkan hanya selamat dan bahagia, tak salah memang sesuai filosofi KHD yang membentuk insan selamat dan bahagia. Ajaran agama juga selalu berdoa keselamatan dan kebahagiaan "Rabbana Atina Fiddunya Hasanah Wafilakhiroti Hasanah Waqinna'azabannar".
Akhirnya tulisan ini mengingatkan saya pada realita bahwa guru bukan buruh, para guru mulia mencerdaskan anak bangsa. namun hari ini memiliki nasib yang sama tragis akibat sistem yang bebas ini.
Selamat hari Buruh semoga guru dapat sejahtera, haknya segera dibayarkan dan mendapat penghasilan yang Kaya seperti di jaman para sahabat Nabi. Jika guru sejahtera maka insyallah semua bahagia dan selamat di dunia dan akherat. Mulia Guru untuk Kita Semua.
Alian Suhendra
Guru SMPN 25 Kaur
