Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Korupsi yang Mengepung Bengkulu

Mural Antikorupsi/Foto Istimewa

Wajah media massa di Bengkulu nyaris setiap hari didominasi oleh pemberitaan tentang korupsi, gratifikasi atau suap. Paska kehebohan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur non aktif Ridwan Mukti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berbagai ekspresi keprihatinan muncul.

Sebab, tak lama kemudian menyusul pelimpahan kasus mantan Gubernur Junaidi Hamsyah kepada Kejaksaan yang membuatnya ditahan. Penahanan Junaidi melengkapi daftar orang nomor satu di Provinsi Bengkulu yang terjerat korupsi. Artinya, seluruh pemimpin pilihan rakyat Bengkulu adalah koruptor.

Baca juga : Ridwan Mukti dan Pentingnya Komisi Pemberantasan Kemiskinan

Belum lagi reda pemberitaan-pemberitaan itu, publik kembali dikejutkan dengan OTT yang dilakukan oleh Tim Saber Pungutan Liar Provinsi Bengkulu terhadap oknum pejabat Kepala Seksi (Kasi) di Kantor Badan Kepegawaian Daerah dan PSDM Pemerintah Kabupaten Kaur.

Meski wajah-wajah pelaku korupsi selalu mendapatkan tempat utama dalam pemberitaan media massa di Bengkulu, kenapa korupsi seakan tak pernah berakhir? Apa motivasi orang untuk mendapatkan jabatan publik di Bengkulu?

Sekretaris Kabinet Pramono Anung membuat disertasi menarik mengenai hal ini. Intisari dari disertasinya yang berjudul “Komunikasi Politik dan Interpretasi para Anggota DPR Kepada Konstituen Mereka” itu berkesimpulan bahwa motivasi seseorang untuk menjadi pejabat seperti DPR ada motivasi utama dan turunan.

Yang menohok dari disertasi itu adalah ternyata motivasi utama seseorang untuk menjadi pejabat yaitu kepentingan ekonomi. Sehingga tak aneh ketika jabatan telah dipegang, orang-orang semacam itu menghabiskan waktunya untuk mencari proyek dan celah untuk melakukan korupsi.

Baca juga : APBD yang Diributkan Pejabat

Ironisnya, kepentingan untuk melayani rakyat, memperjuangkan sistem demokrasi, ideologi, kebijakan politik dan aspirasi kaum terpinggirkan hanya lah motivasi turunan. Orang bersedia membeli suara rakyat dan membeli jabatan agar bisa menumpuk-numpuk kekayaan.

Praktik jual beli suara dan jabatan itu sendiri seakan telah mendarah daging dan vulgar. Orang rela menghabiskan uang miliaran rupiah untuk menjadi kepala daerah dan ratusan juta rupiah untuk menduduki sebuah jabatan, atau bahkan untuk sekedar menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Hanya segelitir sosok yang terjun ke dunia politik dan birokrasi karena ingin memperjuangan program kerakyatan. Sebuah kondisi yang membuat rakyat kehilangan harapan.

Coba saja perhatikan data Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM. Sepanjang tahun 2001 hingga 2015, mereka mencatat 1.420 pejabat dihukum karena korupsi. Sedangkan korupsi dari kalangan PNS sebanyak 1.115 terpidana. Total dana yang dikorupsi mencapai Rp 50,1 triliun. Hanya sedikit yang dikembalikan.

Dalam konteks Bengkulu, belum lama ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendeteksi adanya potensi kecurangan di bidang pengadaan barang dan jasa pada tahun 2016 di beberapa daerah, Provinsi Bengkulu menjadi salah satu provinsi dengan potensi kecurangan yang paling tinggi.

Sementara untuk Kabupaten yang paling berpotensi melakukan kecurangan pengadaan barang dan jasa di tahun yang sama, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Selatan menempati urutan keempat dan kelima se Indonesia.

Sayangnya, meski korupsi di Bengkulu telah menggurita, belum ada terobosan yang tegas dan program yang kongkrit dari seorang elit politik dan birokrasi untuk menghentikan praktik korupsi. Sebagian besar hanya menyerahkan pengawasan kepada lembaga yang berwenang seperti KPK, Kejaksaan, BPK dan lembaga-lembaga lainnya.

Terobosan yang diperlukan adalah sebuah cipta kondisi yang mampu menutup semua celah timbulnya praktik korupsi, baik dikalangan elit politik maupun pejabat birokrasi. Sebuah cipta kondisi yang menolak seluruh urusan-urusan publik diserahkan hanya kepada segelintir elit yang memiliki hawa nafsu besar untuk menumpuk-numpuk kekayaan.

Terobosan itu dapat berupa menggalang partisipasi luas masyarakat dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Rakyat harus terlibat aktif dalam merumuskan, menetapkan dan mengawasi secara langsung seluruh kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka.

Rakyat berhak untuk mengetahui setiap rupiah uang mereka yang dikelola oleh instansi manapun, pemasukannya dan pengeluarannya. Rakyat harus mengetahui secara detail seluruh proyek pemerintah, seleksi kepegawaian, tender-tender, dan hak istimewa untuk meminta agar orang-orang yang tidak berkompeten, tamak dan memiliki gaya hidup glamour untuk segera diberhentikan.

Tanpa terobosan semacam itu, meski ada banyak fakta-fakta integritas yang ditandatangani, meski ada seribu lembaga yang diminta untuk melakukan pengawasan, praktik korupsi sulit dihentikan, bahkan bisa jadi berganti pola dalam bentuk yang semakin rapi dan sistematis.

Kita tidak bisa berharap pada sistem politik birokrasi yang tumpul. Dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, sudah saatnya seluruh rakyat dilibatkan dalam semua kebijakan.