Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Mengenang Bengkulu Bersama Ibu Negara Fatmawati



Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 terdiri dari sekitar 13.446 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Indonesia disebut juga negara kepulauan. Terletak pada garis tengah (equator) Bumi atau Negeri ini, negeri yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah.

Iklim tropis merupakan iklim yang paling baik bagi pertumbuhan dan perkembangan sebagian besar tumbuh-tumbuhan. Tanah yang subur dengan curah hujan yang cukup, membuat tanaman tumbuh subur di negeri ini. Tidak heran jika Indonesia di anggap sebagai secuil tanah yang kirimkan Tuhan dari surga. Terdiri dari 34 provinsi dan kali ini kita akan melancong menuju salah satu provinsi yang mungkin masih banyak belum di kenal oleh masyarakat luas namun memiliki hal besar yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah pastinya, bukan hanya mempunyai nilai sejarah yang tinggi namun banyak juga hal lainnya seperti budaya, tempat wisata dan culture masyarakat yang sangat masih terasa.

Provinsi Bengkulu terletak pada pantai barat Pulau Sumatra, memiliki Situs Budaya sebagai tempat pusat pengetahuan dan juga pelestarian budaya. Beberapa tempat Wisata sejarah yang bisa di kunjungi di tengah Kota Bengkulu ini diantaranya, Benteng Marlborough, Monumen Parr dan Hamilton, Museum Provinsi Bengkulu, Rumah Pengasingan Bung Karno, Rumah Ibu Fatmawati. Dan beberapa wisata alam terdiri dari Pantai Panjang, Pantai Zakat, Tapak Paderi, Pulau Tikus, Danau Dendam Tak Sudah.

Provinsi Bengkulu yang juga dikenal sebagai Bumi Raflesia ini memiliki beberapa macam endemik Raflesia , jenis-jenis Raflesia ini berbeda dengan jenis Raflesia lainya di antaranya Raflesia Arnoldi, Gadutensis Meijer, Hasseltii Suringar, dan Bengkuluensis.

Banyak sejarah yang tersimpan rapi di Bumi Raflesia ini, hal yang tidak terlalu banyak diketahui oleh masyarakat luas dan mulai hilang oleh waktu salah satunya tentang lahirnya seorang pejuang perempuan sejati yaitu Ibu Negara Indonesia Fatmawati Soekarno.

Orang-orang boleh beranggapan bahwa Bengkulu masih tergolong wilayah periferal (wilayah pinggiran) yang dianggap jauh dari arus aktivitas kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Akan tetapi sejarah telah membuktikan bahwa di Bengkulu inilah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh patriotik yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional. Dan di Bengkulu inilah telah dilahirkan seorang anak perempuan yang ternyata kelak kemudian hari menjadi seorang Ibu Negara (First lady) Republik Indonesia pertama dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Fatmawati yang bernama asli Fatimah lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 Di sebuah rumah bergandeng di kampung Pasar Malabero, Bengkulu. Oleh orang tuanya, diberilah nama Fatmawati, yang mengandung arti Bunga Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana.Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi.

Beberapa hal yang terlihat jelas dari seorang Fatmawati adalah keteguhan jiwanya dan nilai-nilai-nilai perjuangan, terutama terhadap harkat dan martabat kaum wanita Indonesia, ia meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya.

Bahkan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami.

Dan akhirnya kita akan mengulang kembali kehangatan di masa lampau tentang cinta seorang perempuan Bengkulu, kita akan terkesima dengan jalinan cinta antara Presiden Soekarno dan Fatmawati yang awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka.

Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain, Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya dan rasa cinta diantara keduanya mengubah hal-hal yang di anggap tidak mungkin menjadi mungkin.

Fatmawati menikah dengan Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada tanggal 01 Juni 1943, saat itu Fatmawati berusia 20 tahun. Dari pernikahan tersebut, secara otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967. Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Ibu Fatmawati segera berangkat ke Jakarta tidak sekedar untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri Bung Karno, pemimpin pejuang rakyat Indonesia, tetapi juga ikut berperan aktif, bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya untuk membela Nusa dan Bangsanya.

Beberapa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh ibu Fatmawati untuk NKRI diantaranya adalah istri yang ketiga dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ibu Negara Indonesia Pertama ini terkenal sebagai wanita yang berjasa dalam menjahit bendera Sang Saka Merah Putih yang dengan tegas dikibarkan pada upacara pertama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ibu Fatmawati juga aktif dalam kegiatan sosial seperti melakukan pemberantasan buta huruf, mendorong kegiatan kaum perempuan baik dalam pendidikaan maupun dalam ekonomi. Ia juga hadir pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), setelah menyaksikan pidatonya Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikemudian hari dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila itu. [Annisa Waliati/Pesona Bengkulu/Komunitas Ayo Menulis Bengkulu]