Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Bisakah Asas “Kesucian Kontrak" (Freeport) Diabaikan?




Setiap berbenturan kepentingan dengan pemerintah Indonesia, Freeport selalu menjadikan Kontrak Karya (KK) sebagai tameng. Hormatilah kesucian kontrak, begitu yang sering diteriakkan oleh bos-bos Freeport.

Asas “kesucian kontrak” (sanctity of contract), yang mewajibkan pihak-pihak yang membuat kontrak untuk mematuhi isi kontrak hingga kontrak itu berakhir, seolah menjadi hukum sakral yang tidak bisa disentuh.

Masalahnya, KK mendudukkan kedua subjek, yakni korporasi dan negara, sama-sama sebagai subjek hukum perdata yang sejajar. Akibatnya, KK membelenggu kewenangan/fungsi negara sebagai badan politik publik dalam membuat peraturan/undang-undang guna melindungi kepentingan nasionalnya.

Itu yang terjadi pada Indonesia. Berbagai regulasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasionalnya, diabaikan oleh Freeport dengan berlindung pada asas “kesucian kontrak”. Salah satunya: UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.

Pertanyaannya sekarang, bisakah kesucian kontrak diabaikan?

Saya kira, sebuah kontrak bisa dianggap suci kalau diteken dalam kondisi: (a) salah satu pihak di bawah tekanan/paksaan, (b) salah satu pihak tidak cakap, (c) klausul perjanjian merugikan salah satu pihak, dan (d) membawa dampak buruk bagi salah satu pihak.

Sekarang kita lihat dalam kasus KK Freeport. Pertama, KK diteken dalam periode transisi politik. Di sini ada banyak masalah: Satu, Papua, tempat konsesi Freeport, belum resmi masuk ke dalam NKRI. Sebab, Pepera—proses penentuan pendapat rakyat Papua—baru berlangsung tahun 1969. Itupun banyak tuduhan kecurangan. Dua, Soeharto, orang yang mewakili pemerintah Indonesia, bukan pejabat resmi Presiden RI. Soeharto baru diangkat resmi sebagai Presiden pada 27 Maret 1968. Itupun Soeharto ditunjuk sebagai presiden bukan melalui mekanisme politik demokratis, yakni pemilu, melainkan kudeta merangkak.

Kedua, pemerintah Indonesia saat itu berada di bawah tekanan. Denise Leith, penulis buku “The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia”, menulis: “ketika Freeport memulai negosiasi dengan rezim militer di Jakarta tahun 1967 untuk tambang tembaga di Papua Barat, perusahaan transnasional Amerika dengan koneksi politik dengan orang-orang penting, sangat kuat dalam proses negosiasi, yang memungkinkannya mendikte persyaratan kontrak.”
Di bagian lain, Leith juga menulis: “Forbes Wilson—bos Freeport Sulphur Company saat itu—percaya bahwa Jakarta mungkin di bawah tekanan politik Amerika Serikat untuk menerima kontrak Freeport.”

Karena di bawah tekanan, banyak klausul kontrak itu yang sangat menguntungkan Freeport. Seperti dicatat Leith, Freeport dibebaskan dari kewajiban pajak selama 3 tahun. Tidak ada sepeser saham pun untuk pemerintah Indonesia; tidak ada kewajiban ganti rugi atas lahan masyarakat asli Papua–terutama suku Amungme dan Kamoro–yang dirampas; dan tidak ada kewajiban perlindungan ekologi.

Ketiga, rezim Soeharto, yang meneken KK pertama (1967) dan KK kedua (1991), adalah rezim yang korup, nepotis, dan kolutif. Saya kira, pengadilan mana pun di dunia, sepanjang masih percaya pada keadilan dan kebenaran, tidak akan membenarkan kontrak yang diteken oleh rezim militer yang korup.

Keempat, KK yang diteken oleh rezim Orde Baru itu mewariskan kerugian ekonomi, sosial, dan ekologis bagi bangsa Indonesia saat ini, terutama rakyat di Papua.

Selama hampir setengah abad, Indonesia nyaris tidak mendapat penerimaan yang semestinya dari bisnis Freeport di Papua. Setiap ada gangguan terhadap Freeport, pemerintah Indonesia menjawabnya dengan operasi militer. Akibatnya, banyak kasus pelanggaran HAM di Papua.

Selain itu, kerusakan ekologis akibat operasi Freeport juga tidak sedikit. Tiga sungai besar di wilayah operasi Freeport, yaitu Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, tercemar berat. Temuan JATAM menyebutkan, limbah (tailing) yang dibuang Freeport ke tiga sungai itu mencapai 1,187 miliar ton. Pencemaran itu bahkan sudah sampai ke laut Arafuru.

Jadi, dari uraian-uraian di atas, masihkah kita menganggap KK Freeport itu suci? Masihkah kita mau kedaulatan nasional kita dicekik oleh Freeport dengan mengatasnamakan penghargaan atas “kesucian kontrak”?

Saya kira, bangsa yang berdaulat akan menjawab: Tidak!

Rudi Hartono, Pimpinan Redaksi Berdikari Online