Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Adakah Demokrasi Asli Indonesia?




Sebagai Negara demokrasi, sesuai dengan makna etimologinya—demokrasi berarti kekuasaan Rakyat, seharusnya kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan Negara ini ada di tangan Rakyat.

Namun, apa mau dikata, demokrasi yang bergulir di Negeri kita hanya menjadikan rakyat sebagai “bilangan suara”. Diperlukan saat pemilu, bahkan dibeli dengan uang, tetapi dicampakkan dari segala lini kehidupan bernegara.

Demokrasi kita hanya menjadi teater politiknya elit. Di saat pemilu, mereka memasang wajah merakyat. Keluar masuk gang menyalami rakyat, bergaya hidup ala rakyat, membicarakan nasib rakyat, akrab dengan bau tengik keringat rakyat dan kampung-kampung kumuh. Tetapi, semua itu hanya pura-pura.

Demokrasi kita begitu riuh. Di gedung parlemen, kantor-kantor eksekutif, bahkan di media massa, penuh dengan pernyataan saling serang, saling sikat, saling menjatuhkan. Tetapi itu hanya soal pembagian jatah kekuasan dan jatah proyek antar elit yang belum selesai. Tidak ada yang membicarakan nasib rakyat.

Begitulah wajah demokrasi kita. Demokrasi yang kita tiru dan adopsi dari barat: demokrasi liberal.

Hari-hari ini, di tengah kekecewaan kita terhadap demokrasi liberal, ada usaha mencari demokrasi bentuk lain.

Kalau kita rajin mengorek-ngorek di atas tumpukan sejarah bangsa kita, niscaya kita akan ketemu dengan konsep demokrasi aseli bangsa Indonesia. Dan tulisan Bung Hatta, Demokrasi Asli Indonesia Dan Kedaulatan Rakyat, di tulis tahun 1933, bisa memberi petunjuk ke arah sana.

Bagi Hatta, nilai-nila kedaulatan rakyat, termasuk kekuasaan di tangan rakyat, sudah ada dalam masyarakat tua Indonesia. Jauh sebelum kedatangan kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal satu jenis demokrasi, yakni demokrasi desa. Kenapa disebut demokrasi desa? Ya, karena demokrasi itu hanya hadir dalam pemerintahan di desa-desa.

Kalau melihat penjelasan Bung Hatta, demokrasi desa ini berakar dari masyarakat komunal bangsa Indonesia. Konsep ini sudah eksis jauh sebelum kedatangan pengaruh luar: India, Tiongkok, dan Islam. Begitu pengaruh India masuk, yang juga membawa sistem sosial hirarkisnya, yakni feodalisme, maka sistem demokrasi asli ini tersingkir ke desa-desa.

Dengan demikian, saya bisa menyimpulkan, di jaman itu ada dua kekuasaan yang eksis: pemerintahan desa dan pemerintaha feudal. Karena kekuasaan feudal ini datangnya dari luar, maka sistem sosial masyarakat asli, yaitu gotong-royong, tidak pernah tersingkir penuh.

Namun, Hatta mengingatkan, lantaran sistem demokrasi desa ini dijepit oleh kekuasaan feudal, maka tidak dapat berkembang maju dan bahkan menjadi semakin pincang. “Jadinya, di dalam pergaulan (sistem sosial) masyarakat Indonesia yang asli, demokrasi itu hanya di terdapat di bawah. Sedangkan di atasnya semata-mata pemerintahan otokrasi,” kata Bung Hatta.

Ada tiga ciri pokok demokrasi asli alias demokrasi desa itu:

Pertama, adanya cita-cita rapat.  Cita-cita rapat ini sudah hidup di dalam sanubari Rakyat Indonesia, dari jaman dahulu hingga sekarang. Rapat berarti tempat rakyat banyak atau utusan rakyat untuk bermusyawarah atau mupakat atas berbagai persoalan yang menyangkut orang banyak.

Sistem rapat itu dapat kita temui dalam sistem sosial di desa-desa di Jawa, Bugis, Minangkabau, dan lain-lain. Bahkan, di jaman dahulu, sistem pemerintahan desa juga mengenal sistem pengadilan sendiri, yakni pengadilan kolektif.

Di masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, berlaku prinsip:  Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro to maegae. (batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak).

Kedua, adanya cita-cita massa protes, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum (terbuka) segala peraturan negeri yang dianggap tidak adil. Hak menyelenggerakan protes ini sudah hidup di tengah rakyat Indonesia sejak lama. Di jaman Majapahit, misalnya, ada tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa.

Kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering disebut “tapa-pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton.

Di masyarakat Bugis, sistem penyampaian protes malah sudah diatur resmi: Mannganro ri ade (hak menyampaikan petisi); Mapputane (hak menyampaikan keberatan dan melakukan negosiasi dengan raja); Mallimpo-ade’ (hak melakukan aksi pendudukan); Mabbarata (hak menggelar rapat akbar di alun-alun/Barugae); Mallekke’ dapureng (hak meminta suaka politik ke negeri lain).

Tiga, cita-cita tolong-menolong dan kolektivisme. Masyarakat asli Indonesia tidak mengenal konsep kepemilikan pribadi. Kata Bung Hatta, masyarakat Indonesia sangat berpegang teguh pada semangat tolong-menolong dan gotong-royong.

Pekerjaan-pekerjaan besar, seperti membangun rumah atau turun ke sawah, biasanya dikerjakan secara bersama-sama (gotong-royong). Tradisi gotong-royong dan tolong-menolong ini nyaris kita temukan dalam semua masyarakat Indonesia.

Menariknya, demokrasi Indonesia ini dibasiskan pada kolektivisme, termasuk pemilikan alat produksi secara sosial. Kita bisa melihat, masyarakat desa Indonesia mengenal yang namanya “tanah ulayat”, yaitu tanah bersama yang dikuasa rakyat desa.

Dengan demikian, konsep demokrasi desa itu sudah menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Jadi, disamping pengakuan terhadap kesetaraan politik, ada pengakuan juga terhadap kesetaraan ekonomi. Bentuk konkret kesetaraan ekonomi ini adalah pemilikan sosial terhadap faktor-faktor produksi.

Inilah yang berbeda dengan demokrasi sekarang. Demokrasi sekarang menceraikan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Akibatnya, sekalipun orang dipandang sama dalam wilayah politik, tapi sangat timpang di wilayah ekonomi. Akibatnya, demokrasi politik sering dikudeta oleh absolutisme pasar.

Memang, Bung Hatta menyadari, konsep demokrasi desa ini sudah banyak digerus oleh perkembangan jaman. Untuk itu, konsep demokrasi desa harus disesuikan dengan nilai-nilai progressif dari semangat jaman baru. Artinya, yang kita ambil dari demokrasi desa adalah prinsip-prinsipnya.

Rudi Hartono, Pimpinan Redaksi Berdikari Online