Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Mengganyang Pungli

sidak-retribusi-tpr-1

Oleh Revolusionanda*

KEMARIN (17/10/2016), Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Bengkulu melakukan tangkap tangan tiga petugas kepolisian dari satuan lalu lintas Polres Bengkulu yang diduga melakukan pungutan liar (pungli). Mereka bertiga berpangkat brigpol. Dihari yang sama, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Bengkulu melakukan inspeksi mendadak (sidak) Tempat Pemungutan Retribusi (TPR) Jalan Mangga 2 Lingkar Timur. Hasilnya, lagi-lagi ditemukan pungli.

Pada saat lebaran kemarin pungli juga membuat heboh media sosial setelah para pengunjung wisata Pantai Panjang dimintai biaya hingga Rp 5 ribu hanya untuk duduk sembari menikmati gulungan ombak. Pungli juga ditemukan dibanyak area seperti pada lahan-lahan parkir, pada institusi pelayanan publik seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), di pasar-pasar, bahkan di sekolah-sekolah. Pungli seakan telah membudaya, terjadi dimana-mana dan kapan saja dengan korban segala usia.

Fenomena budaya pungli itu seakan membenarkan apa yang dikatakan oleh sastrawan terkemuka Indonesia Pramoedya Ananta Toer tentang korupsi, kata lain dari pungli, bisa terjadi karena konsumsi lebih besar dari produksi. Konsumsi lebih besar dari produksi bisa digambarkan tentang seseorang yang ingin hidup enak dengan selalu ingin makan makanan lezat, atau punya rumah yang bagus, atau punya kendaraan yang berkelas, atau bisa liburan ke luar negeri, tapi tidak punya penghasilan yang besar. Akhirnya pungli atau korupsi menjadi jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan besarnya itu.

Bengkulu sendiri sebuah provinsi yang belum memiliki 'periuk nasi' yang besar untuk mengenyangkan 'perut' masyarakatnya. Berdasarkan rilis dari situs Pemerintah Provinsi Bengkulu disebutkan, pada tahun 2014 silam tercatat hanya ada 37 industri besar atau sedang. Sedangkan industri kecil sebanyak 4 ribu industri. Selama kurun waktu 2010-2014 peranan sektor industri pengolahan dalam PDRB kurang dari 7 persen per tahun. Bengkulu jauh tertinggal dari provinsi-provinsi lain di Sumatera dalam hal penghasilan. APBD Provinsi Bengkulu bahkan lebih kecil dari kabupaten yang baru lahir seperti Kabupaten Musi Rawas.

Persoalan pungli bukan hanya persoalan tata kelola birokrasi. Meski sudah ada lembaga pengawasan khusus penanganan bidang pelayanan publik seperti Ombudsman belum begitu mampu untuk menekan maraknya pungli yang terjadi. Lebih jauh persoalan pungli adalah persoalan sistem ekonomi-politik neoliberalisme atau 'cara hidup' yang meletakkan kepentingan negara di bawah kepentingan swasta. Dimana pemerintahan hanya diletakkan dalam kerangka melayani kepentingan perusahaan-perusahaan, baik dalam hal perizinan, pembangunan gedung, hingga pembebasan lahan.

Dalam 'cara hidup' seperti itu, pemerintah dibikin tak berdaya dalam mengelola sendiri sumber-sumber kekayaannya. Lihat saja, meski Bengkulu memiliki lahan yang subur untuk berdirinya puluhan ribuan hektar sawit, karet dan kopi serta memiliki banyak kawasan yang mengandung emas dan batubara, namun semua itu hanya mampu dijual dalam bentuk bahan mentah, atau Bengkulu hanya mampu menjual tenaga kerjanya untuk kepentingan perusahaan besar, atau setelah semua hasil-hasil kekayaan alam itu diolah menjadi barang-barang jadi, Bengkulu menjadi pasar tempat dimana produk-produk itu akan dibeli dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga jualnya ketika diangkut dari tanah Bengkulu.

'Cara hidup' seperti itu yang melahirkan para pelaku pungli, atau para koruptor. Rendahnya produktifitas daerah seiring dengan buruknya sistem pendidikan kian melemahkan daya saing sumber daya manusia yang dimiliki. 'Cara hidup' seperti itu merupakan warisan penjajahan Belanda yang menempatkan rakyat pribumi sebagai kelas tertindas dan terbelakang. Pengusaha nasional dan lokal tidak dibiarkan tumbuh. 'Cara hidup' seperti itu memanfaatkan sisa 'cara hidup' zaman kerajaan yang menjadikan para pejabat sebagai pemburu rente, memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh keuntungan dengan cara monopoli, jual-beli lisensi, dan praktik bisnis bermodal kedekatannya dengan kekuasaan.

'Cara hidup' seperti itu sebenarnya pernah dibongkar oleh Presiden Soekarno. Sayangnya dihentikan oleh Soeharto sehingga upaya untuk kembali membangun ekonomi yang mandiri saat ini memerlukan banyak kekuatan, tak hanya oleh rakyat Bengkulu, namun oleh seluruh rakyat Indonesia. Dahulu Bung Karno pernah mendorong tumbuhnya pengusahan nasional yang berorientasi kepada kemaslahatan rakyat dengan program Benteng, dimana semua orang dapat bekerja dan berjuang bersama-sama untuk keadilan dan kesejahteraan bersama.

Singkatnya, upaya untuk mengganyang pungli akan menjadi sia-sia kalau tidak dibaca dari akar masalahnya. Perubahan harus dimulai dari pucuk kekuasaan. Revolusi mental Presiden Jokowi bisa dikatakan gagal total bila tidak melihat perubahan 'cara hidup' neoliberlisme itu untuk kemudian digantikan dengan tatanan hidup yang baru yang tidak memberikan peluang adanya pungli dan korupsi di dalamnya. 'Cara hidup' yang baru itu bersedia untuk mengevaluasi semua peraturan dan kebijakan yang dibuat agar sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.

'Cara hidup' yang baru itu akan menjadi jalan untuk melihat meninjau ulang seluruh kontrak perkebunan dan pertambangan yang membuat perekonomian rakyat sulit untuk mandiri. 'Cara hidup' itu mendorong pemerintah untuk membangun pabrik sendiri, mendorong tumbuhnya koperasi-koperasi rakyat yang kuat, melakukan reforma agraria secara sungguh-sungguh. Cara hidup' itu akan membangun budaya kerja dikalangan rakyatnya dan mau menyediakan ruang politik bagi rakyat untuk mengawasi secara langsung jalannya roda pemerintahan sejak perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pengawasan pelaksanaan program-program. Untuk menghabiskan pungli, kita perlu 'cara hidup' seperti itu, 'cara hidup' yang menolak hedonisme, menolak konsumerisme, menolak menjadi kaya tanpa kerja.

*Pemerhati Sosial, tinggal di Kota Bengkulu