Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

'Pemenjaraan' Saut Sitomorang dan Pelacuran Sastra

325725_06201307092015_saut_situmorangNAMA Saut Situmorang cukup populer di tengah masyarakat sastra. Selama 20 tahun ia menjadi penyintas puisi, demikian ditulisnya dalam antologi puisi Otobiografi, buku karya yang diluncurkan Di Meja Budaya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, pada Jumat (30/10) lalu.

Saut dikenal sebagai sastrawan realis yang membicarakan kehidupan manusia dalam ruang politik. Dosen sastra UI Asep Sambodja menyebutnya sebagai karya pembela orang-orang tertindas. Misalnya dalam karya Catatan Subversif Tahun 1998, Anatomi Penyiksaan, Munir, Marsinah, dan puisi-puisinya atas penolakan operasi militer yang menjadi anak rohaniawan pikirannya.

Dalam essai Politik Sastra, Saut begitu vulgar menelanjangi kerja-kerja sastra yang penuh citra dan kebohongan. Mikael Johani yang aktif di Komunitas Bunga Matahari (milis sastra) mengatakan, pria kelahiran 29 Juni 1966 di kota kecil Tebing Tinggi, Sumatera Utara itu membongkar propaganda-propaganda bohong sebuah komunitas seni budaya, proses penjurian, seleksi karya di media dan lainnya.

"Kalau saja Saut tidak mengungkapkannya, akan banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata penilaian karya sastra itu sangat subjektif. Oh, ternyata redaktur sastra di media-media itu orang dari komunitas yang sama. Belum lama saya juga temukan buku puisi yang isinya bagus banget, dan karya penulis itu belum pernah dimuat di media yang relatif berpengaruh," ujar Mikael, peraih Bachelor of Arts (First-Class Honours in Classics) dari AustralianNational University, Canberra.

Lasimnya sebuah sastra yang mendobrak formalitas kehidupan, Saut juga kerap menggunakan kata-kata sarkas dan kotor untuk menunjukkan kehidupan yang sesungguhnya penuh pencitraan dan rekayasa. Menurut Asep Sambdja cacian itu digunakan untuk merusak estetika puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, yang selalu memandang dunia penuh keindahan.

Polemik sastrawan adalah hal yang lumrah, tetapi tidak kali ini, nasib sastrawan yang pernah mengajar bahasa dan sastra Indonesia di almamaternya, Victoria University of Wellington dan Universitas of Auckland di New Zealand itu harus menjalani hukuman. Pada Kamis, 8 September 2016, kemarin, Hakim PN Jakarta Timur memutus Saut bersalah dengan hukuman kurungan percobaan sepuluh bulan "penjara".

Penyair dan kritikus sastra ini dinyatakan bersalah melakukan tindak kejahatan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap seorang perempuan ibu rumah tangga bernama Fatin Hamama. Sebagai akibatnya, selama 10 bulan ia berada dalam pengawasan. Bila kembali melakukan kesalahan yang sama, dia akan dijebloskan ke penjara betulan selama lima bulan.

Ia di penjara hanya karena menorehkan kata 'bajingan' untuk Fatin Hamama di media facebook. Kata ini melesat dalam perdebatan tentang buku sastra antara dirinya dengan Fatin. Saut "menggugat" penerbitan buku berjudul '33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh', yang antara lain memuat nama Denny Januar Ali (JA), konsultan politik dan pemilik lembaga survei.

Saut berang bukan kepalang karena nama-nama sastrawan sesungguhnya seperti Sitor Situmorang, AA Navis, Hamsad Rangkuti, Wiji Thukul, dan Seno Gumira Ajidarma tersingkir oleh nama Denny Januar Ali. Saut mengejek penulisan buku itu sebagai pekerjaan yang sontoloyo.

"Bagaimana mungkin orang yang baru menulis (Denny JA) beberapa puisi yang lalu ia terbitkan sendiri bisa disejajarkan dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar?" kata Saut. Dan dia kemudian berteriak lantang. "Ini buku sampah!"

Seperti diurai literasi.co, Mengenang Sejarah Pelacuran Sastra, kasus ini bermula pada tanggal 3 Januari 2014, sekelompok orang bernama Tim 8 meluncurkan sebuah buku bernama 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, di PDS HB Jassin. Tim 8 itu terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah.

Para krtikus sastra protes, termausk Saut Situmorang. Pasalnya buku itu mengandung cacat taksonomi yang menyertakan tokoh politik bernama Denny JA sebagai bagian dari tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia? Yang disebut sejajar dengan ikon penyair besar sekelas Chairil, Rendra, dan Widji Thukul.

Pembelokan sejarah kesusasteraan inilah yang mendapat tanggapan serius dari Saut. Sebab orang yang tak paham sastra justru ditokohkan sebagai begawan. Meski buku itu memuat testimoni sastrawan senior meanggapi puisi-esai Denny JA tersebut, belakang diketahui bila kasus ini hanya persoalan titip nama.

Saut menyebut ini sebagai tragedi kebudayaan sebab menyangkut sejarah dan disiplin ilmu pengetahuan dan dunia sastra yang telah dihina. Perlawanan atas buku ini mendorong terbentuknya Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Pelukis Hanafi ikut menetang sampul buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”  yang digunakan tanpa izin itu. 23 orang yang terlibat dalam proyek penulisan dan penerbitan buku-buku Puisi-esai, yaitu Ahmadun Yosi Herfanda, Sihar Ramses Simatupang, Kurnia Effendi, dan Chavcay Saifullah menyatakan keberatan dan merasa diperalat Denny JA. Mereka meminta naskah mereka ditarik dari penerbitan.

Ahmadun Yosi Herfanda bahkan mengakui telah “melacurkan diri” kepada Denny JA, demi uang 10 juta rupiah. Dia pun akhirnya mengembalikan uang itu. Ia sadar, karyanya hanya akan dijadikan alat legitimasi pengaruh Denny JA, setelah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh menjadi polemik.

Maman S Mahayana juga menyatakan Denny JA adalah sponsor penyusunan buku tebal yang memasukkan nama konsultan politik itu ke dalam jajaran 33 sastrawan besar Indonesia. Maman juga menyatakan mundur dari Tim 8, serta meminta Jamal D Rahman sebagai ketua Tim 8 mencabut 5 esai yang sudah ditulisnya. Ia pun mengembalikan honorarium yang ia terima sebesar 25 juta rupiah.

Meski fakta dan kebohongan telah terkuak atas penipuan dunia sastra, tetapi hakim tampak tutup mata. Kuasa dan uang barangkali sudah bicara. Pemenjaraan Saut menjadi tragedi kebudayaan sekaligus coreng hitam dalam kehidupan sastra. Sebab polemik sastrawan baru saat ini berujung ke dunia hukum.

Fatin mengkriminalkan kritik sastra ke dalam dunia hukum. Persoalan kebudayaan ini dibelokkan menjadi kasus kriminal dan nama Denny JA hilang begitu saja. Fatin bahkan disebut merengek-rengek pada Komnas Perempuan. Dan celakanya, Komnas Perempuan menganggap bahasa memiliki kelamin. Jika laki-laki menggunakan metafora dan metonimi kasar terhadap perempuan dianggap seksis. Sementara perbuatan sebaliknya tidak.

Dari Fatin mendapatkan simpati karena ia perempuan. Makian Saut akibat ancaman dan kemunafikan Fatin dianggap lebih keji dari dusta sejarah yang dilakukan oleh Fatin Hamama dan Denny JA. Saut dikerangkeng oleh satu pasal UU ITE dengan persoalan nama baik, dari orang yang justru perlu dipertanyakan nama baiknya (Fatin dan Denny JA-red)?.

Nasib sastra barangkali perlu dipertanyakan, bisakah polemik sastra di penjarakan? Jika ya, maka yang tumbuh dari generasi sastra tinggal lagi 'tembok tanpa bunga,', sastra tenggelam, dipenjarakan, dan direndahkan. Seperti yang diungkapkan Soe Hok Gie, "Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat". Tetap Semangat Bung Saut Situmorang. (Tina Indani).