Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

UU Tax Amnesty Hanya Untungkan Pengemplang Pajak

Ilustrasi Tax AmnestyJAKARTA, PB - Indonesian Coruption Watch (ICW) menilai UU pengampunan pajak atau Tax Amnesty hanya menjadi wadah bagi pengemplang pajak untuk cuci tangan. Sebab, para penjahat pajak tersebut bisa bebas dari dosanya bila UU ini diterbitkan.


"Saya takut UU itu hanya menjadi semacam laundry pajak," kata Koordinator ICW, Firdaus Ilyas.


(Baca juga: Kepentingan Orang Kaya Dibalik “Tax Amnesty” dan Berunding dengan ‘Maling’ Lewat ‘ Tax Amnesty’)


Secara substantif, ICW sebenarnya tidak menolak RUU ini. Dengan catatan, ada beberapa hal terlebih dahulu yang harus diselesaikan. Misalnya, persiapan kelembagaan, monitoring dan pengawasan serta penegakan hukum yang tegas. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) harus terdaftar jelas dan terbina sehingga para wajib pajak akan menjadi baik dan taat.


Bila itu semua dilakukan maka UU Tax Amnesty akan mampu melahirkan era ketaatan pajak. Tapi, Firdaus menilai semangat tersebut tidak terlihat dalam UU pengampunan pajak yang tengah disusun saat ini. "Dalam konteks yang mau diterapkan di Indonesia, saya belum melihat itu," tegasnya.


Sebagaimana diketahui, dilahirkannya UU Tax Amnesty hanya untuk menggenjot penerimaan negara. Padahal, Firdaus menilai penerimaan pajak lebih besar sebenarnya bisa dilakukan bila pemerintah mampu mengoptimalkan sektor penerimaan negara lainnya.


Contohnya, penyelesaiaan Bagi Hasil Penerimaan Batubara (BHPB) dan Pajak Penerimaan Negara (PPN) dari royalti dan pertambangan batubara. Dari sini saja, bila ditotal dengan kurs rupiah saat ini nilainya hampir mencapai Rp100 triliun.


"Kenapa kita tidak bisa mengoptimalkan sumber penerimaan yang dari dulu seakan diabaikan, semisal sengketa royalti penerimaan negara dari pertambangan batubara," kata dia.


Dengan alasan-alasan itu, ia minta pemerintah tidak terburu-buru dalam menerbitkan UU ini. Bahkan, ia minta agar dilakukan penyempurnaan terhadap rancangan UU tersebut. Misalnya terkait aturan tarif tebusan sebesar 2%-6% yang menurut ICW sangat kecil.


"Jadi, kalau dia (orang yang diberi pengampunan) repatriasi, 15 %, dan non repatriasi 20%," usulnya.


Selain itu, ICW juga mempersoalkan masalah pidana pajak dan sanksi administrasi yang dikecualikan dalam RUU itu. Ini membuat dosa si pengemplang pajak yang mendapat pengampunan dan dananya banyak disimpan di luar negeri, menjadi bersih. Apalagi, Pajak Penghasilan (PPH) Barang juga diputihkan.


Padahal, diantara para pengemplang pajak yang menjadi target diberikan pengampunan, merupakan orang-orang yang punya pengaruh. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka masih akan menawar lagi berapa pembayaran yang harus diberikan ke negara.


"Ini juga sekaligus memperlihatkan betapa negara belum memiliki posisi tawar. Seperti kelembagaan, peraturan dan pengawasan kita masih minim, dan secara jujur kita belum siap untuk menampung Tax Amnesty," ungkapnya.


Ia khawatir, UU ini akan bernasib sama seperti kesalahan Indonesia saat menggelontorkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara dengan jumlah yang fantastis, hingga ratusan triliun. "Kita masih percaya Presiden Jokowi, saya kira untuk jangka pendek kejar saja para pengemplang pajak itu," tutupnya. [GP]