Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Hari Pancasila, 1 Juni Libur Nasional

Presiden JokowiBANDUNG, PB - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan 1 Juni menjadi hari libur nasional. Ketetapan ini mulai berlaku pada tahun 2017 mendatang.

"Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, dengan mengucap bismillah, dengan keputusan presiden, tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan, dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila," katanya yang disambut antusias para hadirin yang hadir dalam peringatan Hari Lahir Pancasila dan Pidato Bung Karno di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Rabu (1/6/2016).

Sebelumnya, mantan Wali Kota Surakarta ini sempat bercerita mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia. Penetapan ini ia harapkan dapat membuat Pancasila dapat diamalkan dalam hidup keseharian dan dijaga kelestariannya.

"Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara harus diketahui asal-usulnya. Pancasila harus diamalkan, Pancasila harus jadi ideologi yang bekerja, Pancasila harus dijaga kelanggengannya," ungkap Jokowi.

Setelah peringatan ini, Jokowi dan para pejabat tinggi lainnya dijadwalkan napak tilas ke Penjara Banceuy yang sempat menjadi tempat Soekarno ditahan.

Dalam acara ini hadir Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Menko PMK Puan Maharani, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menteri LHK Siti Nurbaya, Menhan Ryamizard Ryacudu, Menko Perekonomian Darmin Nasution, MenPANRB Yuddy Chrisnandi, Ketua DPR Ade Komarudin, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan lainnya.

Menangkan Pancasila!

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) memberikan pidato dalam Rapat Umum memperingati Hari Lahirnya Pancasila 2016. Berikut isi lengkap pidato tersebut:

Sudah hampir 71 tahun pekik Merdeka menggelegar, berkumandang ke seluruh penjuru dunia, dengan rasa syukur bangsa Indonesia bersuka cita menyambut hari pembebasan yang sudah sekian lama diidam-idamkan itu. Puncak perjuangan yang mengantarkan segenap bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan bangsa atas bangsa dan penjajahan manusia atas manusia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan!

Merdeka, mengembalikan harkat martabat bangsa Indonesia, dengan kekuatan sendiri, dengan segenap kepercayaan diri membangun bangsa sendiri, tanpa harus bergantung kepada kekuatan asing manapun, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di antara bangsa-bangsa di dunia ini.

Kemerdekaan adalah perubahan nasib bangsa, dari penderitaan hidup di alam penjajahan, menjadi hidup penuh kebahagiaan. Tanah yang subur dan sumber daya alam yang berlimpah ruah, adalah bonus serta modal utama bagi bangsa Indonesia membangun industri nasional, untuk mewujudkan kemakmuran, tanpa membedakan suku, agama maupun golongan dalam wadah persatuan.

Namun, kenyataan hidup masih berbicara lain: kesejahteraan serta ketentraman hidup sampai sekarang belum sepenuhnya dirasakan oleh bangsa Indonesia, keadilan semakin jauh dari harapan, seperti kapal berlayar jauh dari tepian.

Persoalan bangsa terus menerus hadir, seperti petir yang menyambar-nyambar di cakrawala, kesenjangan ekonomi semakin tinggi, sesama anak bangsa saling curiga, elit politik saling terkam, berkelahi demi kepentingan pribadi dan golongan, kepentingan umum dilupakan.

Dalam kehidupan ekonomi rakyat menjadi komoditi, dalam politik diperlakukan seperti kuda tunggangan, pendidikan mahal, kesehatan diansuransikan, petani tidak memiliki lahan, buruh upah murah, individualisme dan perilaku kekerasan seolah menjadi kebudayaan.

Kebanggaan serta kepribadian nasional telah luntur, dekadensi moral merajalela, melanda pejabat negara sampai rakyat jelata.

Jika negeri-negeri di tengah gurun pasir saja bisa hidup makmur, tetapi mengapa di atas bumi yang subur, Indonesia belum bisa makmur. Jika demikian, tentu ada sesuatu yang salah.

Mari kita melihat kaca benggala, kesalahan apa yang menjadikan bangsa Indonesia belum bisa hidup bahagia, belum bisa hidup tentram aman sentosa.

Apakah karena kita satu bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri untuk berdiri tegak sebagai sebuah bangsa dalam membangun jiwanya, membangun raganya, sehingga mudah sekali diadu domba, dipecah belah. Apakah karena kita bangsa pelupa, yang sudah melupakan kesalahan-kesalahan sejarah yang pernah kita alami di masa lalu? Apakah kita menjadi bangsa yang tidak teguh dalam memegang komitmen kebangsaan kita, memegang filosofi dan dasar dalam berbangsa serta bernegara, menjadi kerdil ketika berhadapan dengan kekuatan lain di luar kita? Apakah kita menjadi bangsa yang tidak beradab, sehingga tidak menghargai pengorbanan para pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia?

Kita bukanlah bangsa kuli, karena bangsa kita pernah memiliki sejarah besar, sebagai penguasa samudera pada jaman Sriwijaya, pada masa kejayaan Majapahit, dengan Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa menyatukan Nusantara.

Memang kebesaran itu akhirnya punah setelah bangsa kita dikuasai kolonialisme Belanda, rantai perkembangan kebesaran pada masa lalu tersebut hancur, diinterupsi oleh penjajahan, bangsa Indonesia menjadi bangsa kalah, bisa diperlakukan apa saja, termasuk diadu domba, sesuai dengan keinginan serta kepentingan mereka.

Namun, penjajahan telah membangkitkan kesadaran segenap bangsa kita. Perjuangan pembebasan nasional meletus di mana-mana, yang pada akhirnya bangsa Indonesia tiba di pintu gerbang kemerdekaan!

Setelah kita merdeka, masalah kesukuan, masalah golongan, masalah kedaerahan, mestinya sudah melebur menjadi satu kesatuan dalam bingkai Indonesia Raya, bahkan sebelum merdeka pun kita sudah berikrar, bahwa kita yang mendiami tanah air dari Sabang sampai Merauke ini, adalah satu bangsa, satu bahasa, dan bertanah air satu yaitu tanah air Indonesia.

Tekad tersebut mestinya harus diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan, bergotong royong membangun ekonomi untuk kesejahteraan, membangun sistem politik yang beradab, agar kita memiliki kepribadian. Dengan tekad dan kekuatan sendiri, untuk menjadi tuan di negeri sendiri.

Kita memang tidak boleh dan tidak mungkin dalam alam dunia ini mengisolasi diri, tetapi setiap perhubungan dengan negara manapun, dengan organisasi dunia manapun, kita harus memegang prinsip di atas kepentingan nasional kita. Sikap waspada tidak boleh kita tinggalkan, karena dengan kesuburan dan kekayaan tanah air kita akan menjadikan negara-negara lain di luar sana, dengan berbagai cara akan selalu berusaha untuk mengambil apa yang kita punya demi kepentingan mereka.

Jasmerah, jangan sekali-kali kita melupakan serta meninggalkan sejarah, agar kita tidak seperti bangsa keledai, yang menghabiskan waktu dan hidup di atas kesalahan demi kesalahan.

Pada masa awal kemerdekaan, ada dua tugas besar bangsa Indonesia, pertama mengkonsolidasikan hasil kemerdekaan, atau melaksanakan tahap perjuangan nasional demokratis, sebagai pijakan langkah menuju Indonesia yang adil makmur, yang kedua bergotong royong berjuang mempertahankan serta mengisi kemerdekaan dengan membangun benteng yang kuat untuk menghadapi kembalinya imperialisme.

Sampai tahun 1959, di tengah usaha menegakkan kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi, dengan menasionalisasi sumber-sumber ekonomi yang masih dikuasai imperialis, sistem politik dibangun di atas liberalisme, hiruk pikuk mewarnai politik nasional, kabinet berjatuhan, faksionalisme dan perpecahan bangsa terus menerus terjadi.

Diambillah langkah darurat untuk menghentikan liberalisme itu dengan kembali ke niat serta tujuan awal kemerdekaan bangsa Indonesia, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD Proklamasi 1945.

Dekrit tersebut kemudian dijelaskan secara gamblang dalam Pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1959, pidato yang menggelegar dan menggetarkan dunia, menjadi manifesto politik bangsa Indonesia. Manipol USDEK: UUD Proklamasi 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin dengan Kepribadian Nasional, yang oleh MPRS tahun 1960 menjadi GBHN, peletakan batu pertama Garis Besar Haluan Negara, jalan revolusi telah kembali ditemukan.

Setelah berakhirnya perang dunia II, pertentangan antar negara kembali terjadi, dunia terpolarisasi menjadi blok barat yang kapitalis dan blok timur yang komunis, di tengah pusaran arus perang dingin tersebut, sejarah telah mencatat bagaimana kebesaran Indonesia yang menjadi salah satu poros penting dunia, bersama kekuatan negara-negara dunia ketiga membangun blok sendiri, mengkonsolidasikan kekuatan alternatif dengan Gerakan Non Block sebagai New Emerging Force, bahkan pada tahun 1963, Bung Karno dalam sidang PBB menjelaskan apa itu Pancasila, sebagai jalan tengah menuju perdamaian dunia.

Imperialisme dengan berbagai siasatnya terus berusaha kembali menguasai Indonesia, menginfiltrasi serta menanamkan pengaruhnya kepada faksi-faksi yang ada di dalam negeri, dengan mengadu domba sesama anak bangsa, dengan menyelewengkan tujuan serta cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.

Jika tahun 1960 an, asset imperialis di dalam negeri sudah hampir 80% dikuasai oleh bangsa Indonesia, bangsa Indonesia kembali terinterupsi oleh disyahkannya UU PMA tahun 1967, satu UU yang menjadi titik balik masuknya modal asing.

Tembok Berlin roboh, tanggal 8 Desember 1991, Sovyet runtuh, perang dingin berakhir, dunia sepenuhnya dikontrol oleh negara-negara Kapitalis.

Tahun 1997-1998, krisis ekonomi melanda Indonesia, untuk memulihkan ekonomi yang ambruk, kedaulatan bangsa diserahkan kepada IMF dengan syarat yang teramat berat, yaitu harus melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter of Intent (LOI), yang berisi liberalisasi ekonomi dan sosial.

Untuk memberikan landasan kembalinya liberalisme dan kapitalisme itu, UUD Proklamasi 1945 diamandemen. Satu kesalahan besar dilakukan, karena amandemen tersebut bertentangan dengan semangat dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang terkandung dalam Pembukaan UUD Proklamasi 1945. Disusunlah UU baru, yang mengatur kehidupan bangsa Indonesia yang sudah diliberalkan itu.

Perdagangan bebas, pemangkasan anggaran publik untuk layanan sosial, penghapusan subsidi BBM, swastanisasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi dan kesehatan, privatisasi BUMN.

Yang terjadi kemudian, sumber daya alam kita dikuasai asing: 85 persen di sektor migas, 75 persen batubara, 90 persen emas, 80 persen tembaga, 79 persen nikel, 75 persen timah.

Modal asing juga menguasai sektor perkebunan dan kelautan: kopra 80 persen, ikan 75 persen, kakao 68 persen, garam 60 persen, dan kelapa sawit 55 persen.

Bahkan dengan disahkanya UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, penjajahan dalam bentuk baru kian nyata, pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun. Padahal, pada masa kolonialisme Belanda saja pada tahun 1870, modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun.

Dari sekitar 150 juta hektar lahan di Indonesia untuk investasi, baru 11 persen yang sudah clean and clear, yang berarti peruntukannya sesuai dengan aturan yang ada. Artinya, hampir 89 persen lahan dari 150 juta hektar tersebut dirampok para pemilik modal. Di sisi lain, 95 persen dari 26 juta keluarga petani Indonesia hanya memiliki tanah seluas 0,3 hektar.

Ingatan akan sejarah pada masa awal kemerdekaan sudah dilupakan, liberalisasi telah mendobrak pintu selebar-lebarnya untuk kembali menguasai Indonesia, Pancasila sebagai filosofi bangsa dan dasar negara terpendam dalam lumpur hitam liberalisasi itu, Trisakti roboh pilar-pilarnya. Indonesia kembali terperangkap ke jaring-jaring penjajahan, elit politik kebingungan kehilangan pegangan, rakyat Indonesia hidup kocar-kacir seperti lebah yang dihancurkan sarangnya, kemiskinan dan pengangguran seperti gurita, persatuan nasional tercabik-cabik, sesama anak bangsa kembali diadu domba.

Hentikan! Kita harus menghentikan sistem kehidupan yang tidak sesuai dengan jati diri Bangsa Indonesia, karena telah terbukti secara historis maupun faktual, liberalisasi sebagai instrumen dari sistem kapitalisme itu tidak pernah memberikan kesejahteraan maupun ketentraman hidup bagi bangsa Indonesia.

Ayo hentikan liberalisme, kapitalisme itu dengan MEMENANGKAN PANCASILA, sebagai filosofi, dasar dan pedoman dalam berbangsa dan bernegara.

Mari sejenak kita buka kembali lembaran sejarah lahirnya Pancasila. Menghayati Pancasila tanpa memahami kontek sejarah dan paham akan pandangan-pandangan hidup dari penggalinya, yaitu Bung Karno, akan menjadikan kita kehilangan ruh, mengawang-awang, kehilangan makna. Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno di depan sidang BPUPKI menyampaikan pidato tentang filosofi dan dasar Indonesia Merdeka yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri, berupa lima sila, PANCASILA.

Pancasila adalah pemerasan kesatuan jiwa bangsa Indonesia, sebagai perwujudan persatuan bangsa dan tanah air Indonesia, sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional maupun internasional.

Jika diperas menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, Pancasila adalah Gotong Royong, di atasnya negara Indonesia berdiri, negara gotong-royong! Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.

Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong!

Dan prinsip gotong royong tersebut akan bisa terwujud hanya jika bangsa Indonesia bersatu dan berjuang untuk mewujudkannya. Berjuang untuk memenangkan Pancasila, menjadi prinsip dalam berbangsa serta bernegara.

Menurut Bung Karno, kemerdekaan tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko, tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak nekad mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “merdeka, merdeka atau mati!”

Proklamasi kemerdekaan kita bukan hanya mempunyai segi negatif atau destruktif saja, dalam arti membinasakan segala kekuatan dan kekuasaan asing yang bertentangan dengan kedaulatan bangsa kita, menjebol sampai ke akar-akarnya segala penjajahan di bumi kita, menyapu-bersih segala kolonialisme dan imperialisme dari tanah air Indonesia.

Proklamasi kita itu, selain melahirkan kemerdekaan, juga melahirkan dan menghidupkan kembali Kepribadian Bangsa Indonesia dalam arti seluas-luasnya: Kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian sosial, kepribadian kebudayaan, pendek-kata Kepribadian Nasional.

Kemerdekaan adalah semangat untuk bersatu, kemerdekaan untuk berdaulat, kemerdekaan untuk adil dan makmur, kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum, kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kemerdekaan untuk ketertiban dunia, kemerdekaan untuk perdamaian abadi, kemerdekaan untuk keadilan sosial, kemerdekaan yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa, kemerdekaan yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, kemerdekaan yang berdasarkan Persatuan Indonesia, kemerdekaan yang berdasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, kemerdekaan yang mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semua ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, anak kandung daripada Proklamasi17 Agustus 1945.

Dasar kemerdekaan bangsa Indonesia adalah kesatuan Proclamation of Independence dan Declaration of Independence sekaligus! Proklamasi dan Pembukaan UUD Proklamasi 1945.

Declaration of Independence kita, yaitu Pembukaan UUD Proklamasi 1945, memberikan pedoman untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan prinsip kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam mengembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat Indonesia.

Di atas prinsip tersebut pembangunan ekonomi diletakkan, pembangunan yang mencerminkan semangat Pasal 33 UUD 1945, dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan secara kekeluargaan dan gotong royong, dengan kemakmuran masyarakatlah sebagai tujuan utama, bukan kemakmuran orang-seorang.

Menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme sebagai tahapan menuju masyarakat adil makmur lahir batin, atau yang sering disebut sebagai Sosialisme Indonesia.

Dengan mengerahkan segenap potensi, baik potensi pemerintah maupun potensi koperasi dan swasta, nasional dan domestik dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan untuk meningkatkan produksi dan menambah penghasilan negara, untuk memperbesar produksi berdasarkan kekayaan alam yang berlimpah-limpah sebagai dasar untuk industrialisasi nasional.

Yang dikerjakan atas dasar kegotongroyongan antara massa rakyat dan Pemerintah, sebagai syarat untuk menimbulkan dan menyalurkan daya kerja dan daya kreatif rakyat secara maksimal.

Setiap warga negara dijamin akan pekerjaan, sandang pangan, perumahan serta kehidupan kultural dan spiritual yang layak. Susunan ekonomi yang demikian inilah yang harus menjadi tujuan segenap kegiatan ekonomi kita, yang harus menjadi tujuan tiap-tiap putera Indonesia.

Untuk mewujudkan hal itu, kita harus memiliki bekal, dan bekal pokok kita adalah PANCASILA!

Karena Pancasila menurut Bung Karno adalah Sosio Nasionalisme, memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, dari keadaan masyarakat yang miskin dan terhina akibat imperialisme, kolonialisme, maupun kapitalisme menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum tertindas, tidak ada kaum papa sengsara karena tersingkir dari kehidupan.

Pancasila adalah Sosio Demokrasi, anti thesa dari demokrasi liberal model Barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang hanya melahirkan lingkungan politik yang tidak stabil, gontok-gontokan, selalu menimbulkan friksi antar partai politik, saling jegal antar golongan politik, melemahkan persatuan nasional, menyebabkan ego sentrisme kelompok, golongan, kedaerahan, dan sektarianisme keagamaan, memicu perpecahan bangsa.

Seperti yang sedang kita alami sekarang, demokrasi dengan liberalismenya hanya memberikan kebebasan atau persamaan di lapangan politik semata, tetapi tidak ada persamaan di lapangan ekonomi.

Dalam demokrasi liberal, yang unggul dan selalu menang adalah para pemilik modal. Mereka yang menguasai semua alat propaganda, lembaga pendidikan, media massa, universitas, dan lain-lain. Dengan kekuasaan modalnya, mereka bisa membeli panitia pemilihan, bahkan bisa membeli suara rakyat yang terjepit kemiskinan. Sekalipun setiap warga negara dianggap punya hak yang sama di lapangan politik, tetapi pada kenyataannya hampir semua lembaga politik dikontrol kaum pemilik modal, termasuk di dalamnya adalah penyusunan undang-undang.

Sosio Demokrasi secara harfiah berarti demokrasi massa rakyat. Tidak hanya sebatas demokrasi politik saja, tetapi juga menegakkan demokrasi ekonomi, di tengah-tengah rakyat. Sosio Demokrasi adalah pengejawantahan demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi. Caranya adalah dengan menegakkan prinsip gotong royong, membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama, untuk kepentingan bersama, yaitu bangsa Indonesia.

Sejarah telah mencatat kegagalan liberalisme tersebut dan dikubur oleh Bung Karno tahun 1959 melalui dekrit. Tetapi akibat penyelewengan reformasi 1998, liberalisme sebagai instrumen dari neokolonialisme kembali hidup dan menjadi keyakinan para elit politik sampai sekarang ini.

Demokrasi bagi bangsa Indonesia, bukanlah semata-mata sebagai alat teknis untuk mencapai sesuatu tujuan, tetapi adalah satu kepercayaan, yang memiliki corak nasional, satu corak kepribadian kita, satu corak yang tidak harus sama dengan demokrasi yang digunakan negara lain sebagai alat teknis.

Kemudian Ketuhanan Yang Maha Esa, yang melindungi semua agama maupun aliran kepercayaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.

Perlu kita tegaskan kembali, Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang merupakan Declaration of Independen bagi Bangsa Indonesia, yang dalam alenia IV, mencantumkan Pancasila, merupakan dasar serta pedoman dalam mengisi kemerdekaan nasional kita, baik dari aspek kenegaraan, maupun kemasyarakatan kita.

Untuk itu siapa pun yang memimpin bangsa Indonesia tidak boleh menyeleweng dari dasar serta pedoman tersebut, karena penyelewengan terhadap Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945, berarti Membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembalikan bangsa Indonesia ke alam penjajahan, ke dalam hidup yang penuh kegelapan, kesengsaraan, hilangnya martabat kemanusiaan serta kebangsaan kita.

Pancasila adalah Gotong Royong, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia!

Maka dari itu, sudah tentu kita sebagai anak kandung Ibu Pertiwi, memiliki kewajiban sejarah dan kewajiban idiologis untuk mengangkat kembali Pancasila dari dalam kubangan lumpur hitam alam liberal ini, dan menempatkan kembali Pancasila sebagai filosofi, landasan serta pedoman dalam berbangsa serta bernegara, agar kita menjadi bangsa yang benar-benar merdeka!

Memasuki peringatan hari lahirnya Pancasila yang ke 71, kita harus kembali bersatu, bergotong royong agar Pancasila kembali menjadi bekal hidup dalam berbangsa dan bernegara, menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur, lahir batin.

Maka dalam peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2016 ini, dalam suasana yang baik ini PRD menyerukan:

Pertama, mengembalikan Pancasila sebagai filosofi, dasar dan pedoman dalam hidup berbangsa serta bernegara, sesuai dengan tujuan kemerdekaan Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD Proklamasi 1945.

Kedua, mengembalikan Pancasila sebagai jiwa dan semangat gotong-royong bangsa Indonesia, baik dalam membangun demokrasi ekonomi maupun politik, dengan pilar kedaulatan, kemandirian serta kepribadian.

Ketiga, menjadikan Pancasila sebagai benteng bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi politik pecah belah yang terus dilakukan oleh kekuatan neo kolonialisme beserta agen – agennya yang ada di dalam negeri.

Keempat, menjadikan Pancasila sebagai alat persatuan bangsa, menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur, lahir batin.

Kelima, menjadikan Pancasila sebagai jati diri bangsa dalam membangun identitas nasional, yang menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Dengan segenap doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mari kita songsong hari depan dengan semangat dan kegembiraan, dengan bergotong royong mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, agar Indonesia bangkit, bebas dari kemiskinan serta ketakutan, menjadi bangsa yang besar, bersatu, beradab, maju, aman sejahtera, dengan menjadikan Pancasila sebagai filosofi serta dasar berbangsa serta bernegara.

Hentikan Liberalisme, Menangkan Pancasila! [RN]