Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Pulau Tikus Pulau Buatan

[caption id="attachment_12225" align="alignleft" width="300"]PulauTikus 13 Kondisi abrasi di pantai Pulau Tikus[/caption]

MASYARAKAT Bengkulu nampaknya tak asing lagi dengan Pulau Tikus. Meski tak semua orang pernah kesana, nama pulau mungil tersebut memang sering disebut-sebut. Hal ini lantaran, pulau kecil yang luasnya tak lebih besar dari lapangan sepak bola tersebut dianggap bakal menjadi objek wisata andalan di masa yang akan datang. Tentu saja, bila potensi yang ada disana digarap secara serius.

Baca juga: Banyak Nemo di Pulau Tikus dan Potensi Pulau Tikus Mulai Digali

Selain itu, lokasi pulau yang tak terlalu jauh dari pusat kota juga bisa 'dijual' ke wisatawan. Di hari normal, hanya dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk menuju pulau tersebut dari Tapak Paderi. Tak terlalu jauh, bukan? Sementara waktu tempuh dari Pulau Tikus ke Tapak Paderi dipastikan dibawah waktu tersebut. Hal ini karena laju perahu tidak perlu melawan ombak.

Namun di tengah semangat untuk menggarap pulau seluas 0,65 hektar tersebut, ada beberapa kendala yang harus diatasi oleh pemerintah. Misalnya, sambutan sampah saat tiba di pulau itu tentu sangat menyiksa mata pengunjung. Tak hanya itu, sampah-sampah yang didominasi dengan balok dan ranting-ranting tersebut juga membuat nahkoda kapal harus awas supaya sampah tersebut tak menyambar mesin perahu. Itu baru sampah di atas laut. Sampah yang ada di daratan sendiri tak lebih baik kondisinya.

Kendala berikutnya adalah ancaman abrasi yang selalu membuat pulau tersebut menyusut. Tentu saja akan menjadi sia-sia, semua perbaikan yang dilakukan bila abrasi ini tidak diatasi. Menurut Ketua Wisata Pulau Tikus, Thomas, untuk mengatasi masalah abrasi ini dibutuhkan breakwater sehingga ombak Samudera Hindia bisa diminimalisir keganasannya.

"Kalau dulu ada batu cengkeh, itu fungsinya sama seperti breakwater, untuk memecah ombak," kata dia, belum lama ini.

Thomas sendiri mengaku abrasi ini sebenarnya tidak terlalu berbahaya. Pasalnya, ia menganggap abrasi yang terjadi selama ini tidak lantas membuat pulau ini akhirnya mengecil apalagi terancam hilang. "Posisi pulau ini pasirnya gak kemana-mana, cuma mutar saja," ucapnya.

Namun, lanjutnya, karena banyak pohon-pohon tua yang ada di pulau tersebut mati akibat abrasi tadi maka banyak yang menganggap jika pulau tersebut mengecil. Padahal, sebenarnya menurut Thomas, pulau tersebut malah membesar. "Kalau dilihat dari satelit, sepanjang 2004 sampai 2015 besarnya bertambah," jelasnya.

Tak hanya itu, Thomas menilai orisinalitas atau keaslian pulau tersebut juga masih diragukan hingga sekarang. Sebab, ia menduga kuat jika pulau tersebut sebenarnya bukan pulau alami melainkan buatan. Hal ini berdasarkan pengamatannya pada tanah-tanah yang dihempas abrasi. Dimana di dasar tanah tersebut tertumpuk karang yang tersusun sangat rapi.

"Kalau kita lihat sisa abrasi ini, karangnya kan tersusun rapi. Artinya bukan tidak mungkin pulau ini dulunya buatan, bukan alami," jelasnya.

Kendati demikian, ia mengaku hingga saat ini belum ada peneliti ataupun akademisi yang melakukan penelitian untuk mengecek kebenaran diagnosanya tersebut. "Menurut saya, bisa saja ini pulau buatan pada masa penjajahan dulu. Karena dulu juga ada Pulau Kucing yang tak terlalu jauh dari sini, dan sekarang tinggal karang saja," pungkasnya. [IC]