Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Dari Langgartuan Ke Suku Anak Dalam

LANGGARTUAN adalah sebutan untuk Surau. Surau kecil ini dibangun oleh seorang “musafir” Islam ketika masih jaman Belanda. Tetapi tidak diketahu persis tahun pembangunannya. Konon, surau ini menjadi tapal batas kearah barat Sumatera saat pembangunan jalur pipa-pipa minyak Belanda dari kampong pedalaman di Pinang Tinggi, Jambi, menuju ke Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Sekarang Langgartuan tinggal puing-tiang saja. 26 tahun yang lalu, tempat itu digusur oleh sebuah perusahaan sawit. Kini Langgartuan berada di depan pos Satpam PT. Asiatik Persada di desa Bungku, Bejubang, Batanghari. Sekaligus menjadi pintu masuk menuju perkampungan Suku Anak Dalam (SAD).

Di depan pintu masuk itu, sebuah spanduk merah bergantung diantara pepohonan sawit. Spanduk itu bertuliskan: “Gerakan Pasal 33; Bumi, Air, Udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.”

Untuk menempuh jarak antara kota Bantanghari ke Langgartuan, kita hanya membutuhkan 2-3 jam perjalanan. Akan tetapi, memasuki kawasan Suku Anak Dalam, anda akan bertemu dengan jalan dengan gundukan tanah merah. Jika musim penghujan, maka ban motor anda akan lengket di tanah. Sementara di musim panas anda akan berselimut debu jalanan.

Suku Anak Dalam tidak lagi tersembunyi di dalam semak belukar, melainkan hidup di bawah pepohonan sawit. Mereka memungut berondol (buah kelapa sawit yang jatuh). Mereka membangun kamp-kamp seluas 2×1 meter. Gubuk tempat tinggal mereka dibuat dari pelepah sawit.

Setiap pagi, keluarga Suku Anak Dalam memungut berondol. Sorenya, berondol itu ditimbang. Lalu, baru seminggu kemudian mereka menerima uang atas berondol yang dibeli pengusaha. Berondol dijual seharga Rp300/kilogram.

“Car pembayarang kurang cocok dengan pola hidup kami. Kami mencari makan ke sana-kemari hanya untuk makan sehari,” kata Jasmi, 20 tahun, seorang pemuda Suku Anak Dalam.

Kalau malam sudah tiba, orang-orang Suku Anak Dalam hanya bergantung kepada sinar bulan sebagai penerang di tengah perkebunan. Kalau kebetulan bulan purnama, Suku Anak Dalam pun akan mengambil jala dan mencari ikan taua Bikuyu dan Labi-Labi (Penyu) di Sungai.

Gelap sudah biasa bagi masyarakat Suku Anak Dalam. Menurut Tani, 40 tahun, mereka sangat beruntung ketika ada warga yang membeli bensin untuk penerangan listrik. Maklum, di desa itu warga Suku Anak Dalam membuat mesin diesel berkekuatan 2500 watt untuk penerangan. “Kalaupun mesin diesel dinyalakan, itu hanya dari petang hingga sekitar pukul 9 malam,” katanya.

Ketika perusahaan sawit masuk, mereka mengusir Suku Anak Dalam keluar hutan. Karena terusir dari tempat penghidupannya, maka Suku Anak Dalam pun hanya bertahan hidup dengan memungut biji sawit. Itupun, kata orang-orang Suku Anak Dalam, sering diteriaki maling oleh pengawas perkebunan, lalu dikejar bak ayam, kemudian diserahkan ke Polisi. Mereka pun dipenjara.

Tidak salah kemudian, jika ditanya tentang keadilan, orang Suku Anak Dalam pasti menjawab kecut. Jas, 38 tahun, seorang tokoh Suku Anak Dalam, pernah berkata: “Air susu datangnya dari tuhan, sedang air tuba datangnya dari pemerintah.”

Dalam membiayai sekolah anaknya, orang-orang Suku Anak Dalam hanya bergantung dari harga berondol (biji kelapa sawit). Kadang, karena tidak punya uang, mereka tidak bisa membayar kebutuhan sekolah. Tetapi guru-guru kadang tidak mau tahu. Para guru bertindak layaknya “debt colletor”, dan mendatangi orang-orang Suku Anak Dalam untuk menagih uang sekolah. Harga seragam sekolah mencapai Rp300 ribu, atau setara dengan pengeluaran untuk buah pete dan garam untuk kebutuhan makan Suku Anak Dalam sebulan. Padahal, orang-orang Suku Anak Dalam rela mewakafkan tanah untuk pembangunan fasilitas publik, seperti perumahan, pasar, masjid, kantor desa, dan sekolah.

Selain itu, 25 anak Suku Anak Dalam yang baru sekolah juga mendapat perlakuan diskriminatif dari sekolah. Pernah sekali, seorang guru SDN 185 Bungku mengalunkan sandal jepit ke leher ke seorang anak Suku Anak Dalam. Lantaran perlakuan itu, Sukri—nama anak itu—memilih untuk berhenti sekolah. “Sudah capek dikejar uang pungutan dan diolok-olok sebagai orang primitif,” katanya.

Hampir 99% Suku Anak Dalam yang menghuni areal perkebunan Divisi Kelabai belum mengenal baca-tulis. Bahkan, masih banyak yang belum mengerti ukuran timbangan dan nilai uang. Ketika hendak berbelanja, mereka meminta bantuan orang lain agar tidak kena tipu.

Pada setiap pasar Kamisan—pasar mingguan di Desa Bungku—orang-orang Suku Anak Dalam menjadi korban dari ketidaktahuan mereka akan nilai uang. Sering terjadi, Suku Anak Dalam berbelanja dengan uang Rp50 ribu, tapi tidak lagi menunggu uang kembalian dari belanjanya itu. Semuanya bergantung kepada kejujuran Si Pedagang.

Orang Suku Anak Dalam, yang masih memegang teguh filosofi hidup leluhur, belum mengerti betul apa itu menipu dan curang. Mereka belum tahu untung dan rugi. Karenanya, mereka pun sering diperdaya orang luar. Orang luar sering memberi mereka tembakau, garam, dan ikang kering, lalu orang Suku Anak Dalam membalas pemberian itu dengan menyerahkan sebidang tanah.

Akhirnya, karena sering ditipu oleh orang luar, tanah milik orang Suku Anak Dalam pun banyak yang habis.

***

Suku Anak Dalam di Jambi tergolong “pribumi pertama” di Indonesia, yang sering disebut Ras Vedoit-Austroloid dan muncul sesudah sejarah manusia pendatang pertama: Homo Erectus dari Afrika. Ras yang berasal dari pulau Tongkin, Vietnam, inilah yang tersingkir kepadalaman oleh kedatangan Ras Proto Melayu atau Melayu Tua dari lembah sungai Yang Tze di Yunan, China Selatan.

Tetapi suku-suku pedalaman Jambi bukan keturunan Melayu Tua, seperti halnya dengan Suku Nias dan Batak Pedalaman. Bukan berasal dari pecahan “tentara bayaran” Kerajaaan Jambi dan Kesultanan Palembang yang lari dari medan perang Air Hitam yang pecah ditahun 1624–1629, atau prajurit Rangkayo Hitam dari Kerjaaan Jambi yang malu bersembunyi dihutan karena kalah perang. Bukan pula “bujang perantau” dalam hikayat Muntholib Soetomo. Suku-suku pedalaman itu sudah ada sejak 2000 tahun S.M, dengan corak pertanian, perkakas kerja, pola hidup dan struktur sosial yang lebih primitif dibanding masyarakat pesisir.

Kemungkinan, mereka berasal dari pesisir Sumatera masuk ke pedalaman Jambi melalui sungai. Dulu, masyarakat Jambi termasuk bagian dari Sumatera Selatan menggunakan sungai sebagai jalur transportasi. Bentangan sungai dari hulu ke hilir, yang menghubungkan pesisir dan pedalaman dari muara yang berbeda-beda, membentuk penyebaran masyarakatnya dan hubungan struktur politiknya dengan masyarakat luar menjadi unik.

“Menurut cerita moyang kami, Suku kami masuk ke hutan karena tidak ingin dijajah,” kata Abas, 75 tahun, ketua kelompok Suku Anak Dalam Batin Bahar.

Andree K (1874), Damsté H.T (1901), Van Dongen (1906), Bernard Hagen (1908), dan beberapa peneliti Belanda lainnya, termasuk sejarah versi Departemen Sosial RI (1990), sering salah pengertian mengenai orang Suku Anak Dalam yang selalu disama-samakan dengan suku Rimbo/Rimba dan Suku Kubu.

“Letak Suku Anak Dalam dihimpit oleh dua suku lain. Di bagian barat Jambi terdapat Suku Rimbo, lalu di bagian timur Jambi terdapat Suku Kubu atau Suku Lalan,” kata peneliti dari Serikat Tani Nasional (STN) Jambi, Musyafa Ahmad.

Letak wilayah Orang Rimbo yang tinggal di pedalaman bagian barat Jambi dibatasi Sungai Batang Tebo di bagian utara, Sungai Tembesi batas timur, dan Sungai Batang Merangin batas selatan. Ditengah, wilayah Suku Anak Dalam dibatasi Sungai Tembesi dibagian barat, Sungai Batang Hari di batas utara, Sungai Bahar di batas timur, dan Sungai Kandang (anak Sungai Bahar) dan Sungai Selasak (anak Sungai Tembesi) di batas selatan. Bila ditarik garis koordinatnya, maka nampak sketsa wilayah segitiga. Disisi timur, baru kita berjumpa dengan Suku Kubu atau Suku Lalan yang menempati Sungai Lalan dan anak sungainya, yaitu Sungai Bahar. Sebagian wilayah Suku Kubu masuk ke pedalaman Jambi dan sebagian besar masuk wilayah Sumsel.

Wilayah kekuasaan Suku Anak dikenal dengan  nama “Sembilan Batin”, dengan mengikuti penamaan sungai; Bathin Singoan di Sungai Singoan, Bathin Bulian di Sungai Bulian, Batin Bahar di Sungai Bahar, Bathin Jebak di Sungai Jebak, Bathin Jangga di Sungai Jangga, Bathin Pemusiran di Sungai Pemusiran, Bathin Burung Antu di Sungai Burung Antu, Bathin Selisak di Sungai Selisak dan Bathin Sekamis di Sungai Sekamis. Tetapi sebagian dari aliran sungai ini jangan lagi dicari? Banyakan aliran sungai itu sudah diubah atau ditimbun dan banyak lagi sungai mati karena debit air menyusut setelah hutan digunduli oleh perusahaan-perusahaan sawit.

Suku Anak Dalam mendiami tiga sungai besar: Sungai Tembesi dan Sungai Batang Hari bermuara di Provinsi Jambi,  sedang Sungai Bahar bermuara di Sumatera Selatan. Meski demikian, wilayah Suku Anak Dalam dan Suku Kubu dibatasi oleh “bakal petas” atau batas alam yang ditandai dengan pohon-pohon yang tumbuh miring kesisi kanan dan kesisi kiri membentuk celah hutan yang panjang seperti bekas perjalanan kawanan gajah, namun sekarang sudah hilang oleh kehadiran perusahaan sawit.

Dari tulung ke hulu tulung, dari lenggu ke lenggu; dari hulu sungai ke hulu sungai, dari bawah bukit ke bawah bukit. Sungai menjadi pembatas kepemilikan keluarga (tribal) dan penentu luas perladangan. Setiap kepala keluarga yang menetap menguasai anak sungai. Untuk pembukaan ladang baru dibawah bukit diukur dengan depo (kedua tangan) biasanya panjang 200 depo x lebar 100 depo.

Perladangan ini dikerjakan dengan berpindah-pindah sepanjang anak sungai itu dengan cara mebabat dan membakar hutan untuk menghasilkan tanah subur dan pupuk bagi perladangan. Lalu, setiap tahun biasanya Suku Anak Dalam kembali ke tempat bekas perladangan pertama.

Dalam Sloka adat Sembilan Batin dikenal hukum harta pusaka dan waris. Sloka itu berbunyi; “harta sekutu sewaris dibelah, harta seorang dibagi, harta pembawa balik, harta tepatan tinggal.”

Didalam dusun perkampungan setiap Batin, orang Suku Anak Dalam membangun rumah yang atapnya terbuat dari daun lipai, dindingnya dari kulit kayu, dengan tali-tali pengikat dari rotan atau akar kebasai. Mereka terampil membuat lilin dari madu dan kayu damar sebagai pelita, serta membuat alat kerja sendiri seperti keruntung (keranjang), ambung, takala (alat penangkap ikan), kujur (tombak), dan membuat pakaian dari kulit kayu. Juga bisa mengolah lagadung (ubi hutan) beracun menjadi makanan favorit.

Hutan hanya tempat mandah atau istirahat sementara ketika berburu hewan dan mencari  hasil hutan seperti buah-buahan, getah jernang (rotan), balam, jelutung, dll. Setiap keperluan hidup dan hasil buruan dibawah pulang ke rumah.

Kalau baner sudah dipukul, itu tanda “surat undangan” dari tuo tenganai kampong untuk kumpul bermusyawarah. Baner adalah akar pohon keranji yang paling besar. Kemanapun getar suara baner masih terdengar, maka itu berarti masih wilayah kekuasaan Batin.

Untuk pengobatan tradisonil, masyarakat mengenal teknik yang disebut besaleh. Sang dukun akan mengkafani yang sakit, lalu dikuburkan layaknya orang mati. Diantara papan itu dibuat celah angin untuk bernafas kira-kira 2 cm, kemudian seutas benang menjadi penghubung antara dukun dan yang sakit. Pasien pun di kubur semalam. Kalau benang tidak putus artinya sehat, tetapi kalau putus berarti si pasien tinggal didoakan arwahnya.

Struktur masyarakat Suku Anak Dalam, juga adat, hak kepemilikan serta kebiasaan berladangnya, tidak kita temukan pada Suku Rimbo atau Suku Kubu. Suku Rimbo tidak mengenal kampung. Alat kerjanya sederhana dan cara hidupnya nomaden–dalam batas wilayah jelajahnya– memungkinkan mereka menggarap bersama dan memiliki bersama hasil produksi yang merupakan ciri khas kepemilikan bersama yang masih dapat dijumpai.

Suku pedalaman di Jambi mengenal struktur kekuasaan, tetapi berada dibawah pengaruh kerajaan yang berbeda. Suku Rimbo dan Suku Kubu dipimpin oleh seorang Temenggung yang berada dibawah pengaruh kerajaan Sriwijaya. Dibawah struktur Pesirah terdapat Temenggung, Jenang Luar dan Jenang Dalam, lalu Tuo Tenganai. Jenang adalah penghubung masyarakat pedalaman dan masyarakat luar yang biasa bertugas membawakan barang pertukaran. Konon, orang Jenang disebut “penghianat” karena meninggalkan kelompoknya.

Lain hal dengan Suku Anak Dalam Sembilan Batin. Mereka dipimpin oleh seorang Depatih/Patih, yang berada dibawah pengaruh kerjaaan Majapahit. Dalam susunan struktur kekuasaan Suku Anak Dalam terdapat Pesirah, Depati, Dusun, dan Tuo Tenganai. Struktur ini diisi oleh orang tua kampung, tokoh adat, dan cerdik pandai.

Dulunya, orang-orang Suku Anak Dalam melakukan transaksi pertukaran barang dengan orang luar secara sembunyi-sembunyi: barang diletakkan di pinggir hutan, kemudian pedagang luar menukarnya. Suara gongongan anjing tanda barang telah dibarter.

Menurut Nenek Senipa, orang tua Suku Anak Dalam yang sudah berusia 122 tahun, kalau bertukar barang mereka perginya ke Pasar Bejubang, pusat perdagangan Belanda di kota Jambi. Jarak tempuhnya bisa dua hari dengan jalan kaki. Orang Suku Anak Dalam membawa hasil hutan, lalu ditukar dengan garam dan tembakau.

Nenek Senipa kini terbaring sakit. Dari ceritanya, orang Suku Anak Dalam malu berjumpa dengan orang luar. “Kalau bertemu, lompatlah mereka dari rumah, lalu berlari jauh makin ke hutan. Lampu lilin dipadamkan sebelum tidur, agar tidak nampak cahaya dari luar.  Rumah dan ladang pun ditinggal pergi kalau tahu ada “tamu” bawa senapan,” kata Nenek Senipa bertutur.

Sifat orang-orang Suku Anak Dalam terkias dari Sloka adat-nya yang mengasah hati, dipegang pakainya dalam hidup. Hukum-hukumnya selingkung kata, undang-undangnya selingkung alam.

“Sejulai daun kayu, serentang urat”, begitulah bunyi Sloka Suku Anak Dalam, yang artinya pengakuan milik bersama, diatur kuasa secara bersama dengan Negara. “kaca gedang tak boleh kabur, tanggo batu tak boleh runtuh, titian teras tak boleh galing”, —agar bisa tercapai hidup adil dan makmur yang benar-benar maka “memahat kito diatas tiro, mengukir kito diatas baris”.

“Bejenjang naik, betangga turun”, demikianlah lakon negara seharusnya melayani rakyat. Relasinya pun diutas pula oleh “tiga tali sepilin” atau tiga unsur dari pemerintah, adat (agamawan) dan rakyat. Kalau terbalik, maka hukumnya “digeser layu, dianggun mati”, —–pecah-belahlah Negara.

“Jajah turun, serah naik;— Bangun pampas, salah berutang; Titian binaso lapuk, janji binaso mungkir; Kato dulu batepat, kato kemudian tidak dicari; Banyak samo bakoak, dikit samo dicicip, tidak samo dicari; Tumbuh tak merendahkan bangsa, tinggi tak merendahkan tuan”, sebuah kiasan  “lembut” tentang sifat mandiri, rendah hati, jujur, takut berbuat salah, adil dan santun.

Meski hidup tertutup di pedalaman, suku-suku primitif tidak hidup “barbar” layaknya suku-suku primitif di Eropa. Dari pengaruh kepercayaan Animisme, Hindu dan Islam, Suku Anak Dalam di Jambi melahirkan budaya bahasa, moral, anti-kekerasan dan terbuka. Orang luar yang menjadi anggota keluarganya dipanggil Semendo.

Sudirman, 45 tahun, seorang Semendo asal Palembang, menjabat Ketua RT 8 Desa Bungku, membawa saya melihat-lihat bekas kampong di perkebunan Devisi Kelabai PT. Asiatik Persada. “Tiga tempat kuburan bukti bahwa dulu ada kampung besar disini,” ungkapnya.

Kepolosan hati orang Suku Anak Dalam diperalat pemerintah Orde baru. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batanghari, yang menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) No 1/1986 kepada PT. Bangun Desa Utama (BDU), menjadi penyebab penggusuran tiga dusun, Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, serta pengusiran lebih dari 1000 jiwa.

***

Suku Anak Dalam adalah korban kebijakan Negara. Perampasan tanah disertai dengan pelanggaran HAM berat. Hal itu menghancurkan basis kehidupan Suku Anak Dalam. Pihak perusahaan terus merambah hutan, sedangkan Pemerintah menjadi “penonton”.

Padahal penerbitan HGU menabrak proses prosedural, semisal penerbitan HGU lebih dulu ketimbang izin prinsip, dan disinyalir bahwa proses perizinan HGU merupakan hasil “kong kaling kong” antara Pemda Jambi, Mendagri, Menhut, BPN dan Perusahaan kala itu.

Pemerintah tidak konsisten dengan aturan. Pimpinan STN Jambi, Utut Adianto, 34 tahun, memperlihatkan keganjilan surat penerbitan HGU. Kementrian Dalam Negeri (Direktur Jendral Agraria) mengeluarkan izin HGU No.SK 46/HGU/DA/86 pada tanggal 01/09/1986 dan BPN Kab. Batanghari mengeluarkan sertifikat HGU No.1/1986 pada tanggal 20/05/1987, sedangkan izin prinsip dari Menteri Kehutanan baru dikeluarkan pada tanggal 11/07/1987  dan izin pelepasan hutan baru keluar pada tahun 1992.

Konflik perampasan tanah di tahun 1986 masih teringat oleh Kutar Johor, seorang Suku Anak Dalam, yang masih mengingata cara-cara Negara (juga  tentara) dan pihak PT. BDU berprilaku brutal pada keluarga dan kerabatnya.

“Tanpa salam, Tentara masuk kedalam rumah dengan sepatu. Keluar, kata mereka. Karena menolak pergi, ujung senapan menempel diubun kepala. Satu persatu dilempar keluar rumah. Eskavator kemudian merobohkan rumah. Saya hanya bisa mengusap-usap dada, perih rasanya, masih tega pemerintah meroboh gubuk. Warga Dusun yang lain berhamburan lari kehutan seperti burung dengar suara tembakan. Trauma sampai sekarang masih ada yang takut bertemu orang luar,” kata bapak yang aktif memimpin perjuangan kelompok Batin Bahar.

Dusun tua Tanah Menang, yang dulu dikenal sangat ramai, kini tinggal nama. Hanya 10 KK yang berani bertahan sejak peristiwa waktu itu, sedangkan sisanya hijrah ke desa-desa lain.

Mawardi, 30 tahun, Pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi yang terlibat membahu perjuangan, menceritakan bahwa ada upaya menyingkiran Suku Anak Dalam yang  merupakan skenario Pemerintah dan Perusahaan.

Menurut Mawardi, seraya membuka peta, ada tiga skenario penghancuran kepemilikan Suku Anak Dalam Batin Bahar: Pertama, pengusiran rakyat dan penghancuran fisik rumah-rumah, makam, ladang, kebun, tanaman hutan dan sungai; Kedua, pengalihan kepemilikan izin HGU yang pendek dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk mengindari tanggung jawab masa lalu; Ketiga, dilakukan perubahan nama-nama Dusun, Kampung atau Desa untuk memotong ingatan rakyat pada peristiwa dimasa lalu.

Awalnya, Menteri Kehutanan memberi pelepasan kawasan hutan seluas 27.252 Ha dari 40.000 Ha lahan pencadangan Gubernur Jambi, lalu HGU seluas 20.000 Ha direalisasikan menjadi milik PT. BDU yang berganti nama menjadi PT. Asiatic Persada, dan kemudian perusahaan CDC-Pacrim Inggris di tahun 2000 menjadi pemegang saham mayoritas, lalu pada tahun 2006 pemegang saham mayoritas berpindah lagi keperusahaan Cargill Amerika Serikat, dan di tahun 2010 saham mayoritas dibeli Willmar Group Malaysia. Sedangkan sisanya 7.150 Ha jatuh ketangan PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jammer Tulen, keduanya anak perusahaan Willmar Group.

“Dulu penjajah Belanda hanya mencuri minyak di Dusun Pinang Tinggi, sekarang sesudah merdeka dusun dibinasakan, isi hutan dibongkar, tanah dirampas semaunya,” kata Kutar Johar, seraya menunjukkan betapa kejamnya rejim sekarang.

Tetapi pemerintah tidak bisa lagi menyembunyikan bukti. Satu persatu keterangan dan bukti-bukti mengenai dusun, tanah adat, bekas tanah milik, telah dikumpulkan oleh warga Suku Anak Dalam.

Untuk mengamankan jalur pipa-pipa minyak, pihak Belanda pernah membuat surat keterangan wilayah dusun semasa Depati Kelek menjabat di Dusun Pinang Tinggi, dan di dalam isi surat memuat keterangan mengenai keberadaan Dusun Padang Salak dan Pinang Tinggi lengkap dengan batas-batas dusun yang dibuat atas nama Kantor Pemerintah Kolonial Belanda De Controleur Van Moeara Tembesi tertanggal 20 November 1940.

Ditemukan pula surat bukti Residentie Palembang No. 211 dan No. 233, dalam bahasa Arab dan Belanda, dibuat oleh De Assistent Residentie Van Banjoeasin en Koeboestreken, di Talang Betoetoe, 4 september 1930. Juga Kepala Pasirah Marga Batin V Muara Tembesi, Ibrahim Tarab, pernah mengeluarkan Surat Keterangan Sembilan Batin yang tertanggal 4 Maret 1978. Isi surat menyebutkan keberadaan Suku Anak Dalam di Hutan Jebak, Jangga, Cerobong Besi, Padang Salak, Bahar, Pinang Tinggi sampai ke Burung Antu Pemusiran. Dan beberapa surat-surat berlogo Garuda tentang keterangan hak milik yang masih tulis tangan, yang dibuat oleh Kepala Kampung pada tahun 1977.

Dari hasil perjuangan Suku Anak Dalam di Jakarta tahun 2007, bocorlah surat ijin prinsip yang dulu diumpat-umpat pemerintah, beberlah isi surat yang merekomendasi penyelesaian hak tanah masyarakat. Surat Ijin Prinsip Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No. 393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987, tertera keterangan lokasi yang dilepaskan seluas 27.150 Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha, belukar 1.400 Ha, perladangan 2.100 Ha, dan pemukiman penduduk 50 Ha.

Hasil pemetaan lokasi BPN Pusat menetapkan lahan seluas 3.500 Ha dalam kawasan HGU adalah milik Suku Anak Dalam. PT. Asiatic Persada yang kurang percaya mengundang Daemeter Consulting Bogor untuk mengukur luas lahan yang dimaksud, Hasilnya: sesuai dengan pemetaan warga, seluas 3.614 Ha, lebih sedikit dari pengukuran BPN. Rincian lahan 3.614 Ha adalah lokasi Dusun Tanah Menang seluas 1.295 Ha, Dusun Pinang Tinggi seluas 1.075 Ha dan Dusun Padang Salak seluas 1.244 Ha.

Fakta pengakuan justru ditawar-tawar PT. Asiatic Persada dengan lahan 1000 Ha dengan pola Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Skema Koperasi ini hanya menjadi pundi-pundi orang pemerintah untuk membuat akad kredit dengan Bank Pelaksana KKPA.

“Seratus rupiah pun tidak pernah kucur dari KKPA, sedangkan letak lahan 1000 Ha pun tidak diketahui,” ungkap Boy Siregar, 44 tahun, pendamping Batin Bahar.

Suku Anak Dalam Batin Bahar yang pernah menempati bekas tiga dusun berjumlah (±) 1.359 KK, tinggal 3 persen yang bertahan dilokasi, sedang sekitar 25 persen menempati hutan perusahan Asialog dan hutan Tahura Senami, kemudian sekitar 7 persen tinggal di tepi Sungai Ladang Peris di areal perkebunan PT.PN VI,  dan sekitar 65 persen numpang tinggal di daerah Transmigrasi sekitar Sungai Bahar. Mereka membentuk alat perjuangan yang disebut Kelompok 113.

Hampir semua tahap perjuangan sudah dilakukan Kelompok 113, baik melalui diplomasi, aksi politik, dan perjuangan fisik. Sudah lebih dari 12 kali pertemuan resmi dilakukan dengan Pemerintah. Tetapi, walhasil rakyat di “pimpong” Pemda dan Pusat.

Di level internasional, kampanye penolakan pasar sawit Wilmar Group ke Eropa dilakukan dengan mencegah penerbitan sertifikasi pemasaran oleh Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO-Bank Dunia) dan seruan penghentian Investasi pinjaman dari International Finance Corporation (IFC-Bank Dunia) ke Wilmar Group.

Meski sudah berbicara pada Gamal Pasya, anggota Compliance Advirsory Ombusdman (CAO-Bank Dunia)—sebuah lembaga independent yang membantu menjawab pengaduan rakyat terkait dengan IFC-Bank Dunia, juga dengan James W Adams, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Regional Asia dan Pasifik, tetap saja Wilmar Group “mbalelo”.

“Debat di Pontianak, Tuan Jeremy Goon selaku Pimpinan Corporate Social Responsibility (CSR-Wilmar Group) beserta wakilnya Simon Siburat, sudah mati kata,” kata Noerman, salah satu tokoh Suku Anak Dalam.

Orang-orang perusahaan akan “mati kutu” kalau sudah bersilat kata dengan orang Suku Anak Dalam yang tidak mengerti Undang-undang. Semendo asal Nginggil, Kradenan, Blora, Jawa Tengah, Supardi (57 tahun), yang beristri perempuan Suku Anak Dalam, sering mendapat tekanan untuk pergi dari areal perkebunan oleh orang perusahaan.

Perusahaan punya izin HGU dan Saya juga punya KTP izin tinggal. Tapi tanah ini milik PT. Asiatic Persada? lagu Indonesia Raya belum berubah, masih Indonesia Tanah Airku bukan tanah PT. Asiatic Persada. Dituduh mencuri dikebun sawit? Tidak ada pencuri tinggal sampai beranak-cucu dibawah pohon sawit. Bapak ingin gaji atau upah lelah dari plasma, rayu orang perusahaan? Saya bukan PNS dan kalau lelah saya cukup minta pijat sama Istri. Ganti rugi? Saya sudah senang, tidak merugi,” katanya.

Supardi, yang tiba di Jambi tahun 1969 dengan menggunakan kapal Tagari, memiliki cara jawab sama dengan Suku Anak Dalam. “Di Jawa disebut gerakan Samin atau Sampun Manunggal/sudah menyatu,” katanya sambil bernyayi; Jes-ejes sepur duren dadi jenang,—kaum tani makmur, Marhaen pasti menang.

Saat ini, Pemda Jambi tengah membentuk tim penyelesaian konflik tanah adat bersama Kelompok 113 dan pihak PT. Asiatic Persada. Ini merupakan respon terhadap surat balasan Badan Pertanahan Nasional Pusat di Jakarta No.2027-610.3-DV.1 tanggal 28 Juni 2007 tentang Percepatan Penyelesaian Konflik Tanah Masyarakat Adat Suku Anak Dalam.

“Dimeja perundingan harus menang, dilapangan juga harus menang,” kata Abas, ketua Kelompok 113, sesaat setelah saat menutup rapat sosialisasi pembentukan tim di rumah warga, sambil bersloka; “Putus tali balik ke akar, pecah gayung balik ke kualo, tando buat janji semayo, agar diuji samo merahnyo, batimbang samo beratnyo, menyentak jangan ke awan, menyembur jangan ke angin, serentak bak regam, serempak naik merentang, nan titik di tampung, nan terbit di tuai, cari seilun selimbai, agar berjuang samo langkahnyo”. Agus Pranata

(Sumber: Berdikarionline)