PedomanBengkulu.com, Bengkulu - Ada momen langka yang menyentuh nurani publik: Gubernur Bengkulu Helmi Hasan menemui langsung massa aksi Hari Tani Nasional 2025, mengajak mereka ke teras kantornya, duduk lesehan tanpa sekat, dan bahkan menjamu para demonstran dengan makanan. Tidak ada protokol yang memisahkan pemimpin dan rakyat. Hanya ruang terbuka untuk mendengar keluh-kesah tentang konflik agraria. Adegan sederhana itu, Rabu (24/9), menyampaikan pesan kuat: slogan “Bantu Rakyat” yang kerap digaungkan Helmi bukanlah retorika kosong.
Helmi tidak berhenti pada simbol. Ia menyepakati pembentukan tim bersama Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang melibatkan petani, mahasiswa, organisasi lingkungan, dan aparat penegak hukum, dengan tenggat 14 hari untuk mencari solusi. Rapat tindak lanjut dijanjikan terbuka dan bahkan dapat disiarkan langsung di media sosial. Ini bukan hanya janji transparansi, tetapi keberanian untuk diawasi publik, langkah yang jarang ditempuh kepala daerah.
Sikap ini kontras dengan pola birokratis yang sering membuat petani harus berteriak di jalanan agar didengar. Dengan mendatangi demonstran, mengundang mereka masuk, dan menjamu mereka, Helmi menghapus jarak kekuasaan. Ia memperlihatkan bahwa pemimpin yang baik tidak bersembunyi di balik pagar kantor atau formalitas rapat.
Analisis tajam perlu diarahkan ke sini: konflik agraria di Bengkulu bukan masalah baru. Dari Pino Raya hingga Bengkulu Utara, banyak kasus tersendat karena benturan kepentingan dan lemahnya koordinasi. Helmi menawarkan pendekatan baru, partisipatif dan responsif. Ia menegaskan bahwa hak rakyat atas tanah adalah amanah yang sejalan dengan pesan Presiden Prabowo Subianto: petani tidak boleh kehilangan lahannya.
Langkah Helmi juga menyentil perusahaan-perusahaan nakal. Ia menegaskan semua laporan akan ditindaklanjuti, melibatkan aparat penegak hukum, bahkan membuka opsi moratorium izin bagi perusahaan yang merusak lingkungan. Sikap tegas ini menandakan bahwa kepentingan modal tidak boleh mengorbankan kemakmuran rakyat.
Namun, ujian sebenarnya ada pada tindak lanjut. Publik menunggu apakah janji penyelesaian 14 hari akan menghasilkan keputusan adil dan transparan. Meski demikian, duduk lesehan dan menjamu massa aksi sudah menjadi simbol penting: Helmi Hasan adalah pemimpin tanpa sekat, yang memilih mendengar ketimbang memerintah, berbaur ketimbang berjarak.
Jika konsistensi ini terjaga, sejarah mungkin akan mencatat bahwa di Bengkulu, di bawah Helmi Hasan, “Bantu Rakyat” benar-benar menjadi nafas pemerintahan, bukan sekadar lips service atau jargon politik.
