Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Kaum Perempuan Memerangi Kanker Serviks




Setelah tiga tahun berjuang melawan kanker serviks, artis Julia Perez akhirnya meninggal tanggal 10 Juni 2017 di usia 36 tahun. Meninggalnya Julia Perez ini seperti membuka suatu fenomena gunung es, bahwa terdapat sejumlah besar perempuan yang sedang menghadapi ganasnya penyakit ini.

Menurut ketua Yayasan Kanker Indonesia, Prof. Dr. dr. Aru Wicaksono, setiap tahun tidak kurang dari 15.000 kasus kanker serviks terjadi di Indonesia. Itu membuat kanker serviks disebut sebagai penyakit pembunuh wanita nomor 1 di Indonesia. Lebih jelasnya, setiap harinya rata-rata 40 orang didiagnosa menderita kanker serviks dan 20 orang meninggal karenanya. Bukan hanya kanker serviks tapi juga kanker payudara yang juga khas diderita kaum perempuan. Namun kali ini saya ingin khusus membahas persoalan sosial keperempuanan yang berhubungan dengan kanker serviks.

Mengingat tingginya kasus kanker serviks ini, tidak ada jalan lain kecuali kita harus memeranginya secara sangat serius. Upaya pencegahan adalah cara yang terbaik dan selanjutnya adalah deteksi dini sebelum penyakit ini terlambat ditanggulangi.

Dalam melakukan pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, kaum perempuan Indonesia menghadapi beberapa persoalan yang kurang lebih dapat saya golongkan sebagai persoalan budaya dan persoalan ekonomi-politik.

Persoalan budaya yang dimaksud di sini berhubungan dengan kesadaran akan bahaya sehingga dapat melakukan pencegahan; serta persoalan pandangan umum bahwa pemeriksaan pap smear (pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi virus penyebab kanker serviks) secara moral hanya pantas dilakukan oleh perempuan yang telah menikah. Keadaan ini tentu membuat sebagian perempuan merasa tabu atau enggan untuk melakukan pemeriksaan pap smear secara terang-terangan tanpa merasa tertekan. Budaya masyarakat kita masih sangat peduli mengurus seksualitas seseorang bahkan kadang berujung menghakimi. Seharusnya, pemeriksaan pap smear dapat dilakukan oleh perempuan siapa saja.

Sementara persoalan ekonomi-politik berkaitan dengan biaya pap smear yang sebenarnya cukup murah tapi belum cukup terinformasikan kepada masyarakat luas. Pemeriksaan pap smear dapat dilakukan di puskesmas dan sudah masuk dalam program BPJS, dengan biaya berkisar 50 ribu rupiah. Namun di rumah sakit swasta kerap menawarkan paket tambahann sehingga biayanya mencapai 500 ribu rupiah. Situasi ini menimbulkan anggapan di sebagian perempuan bahwa biaya pap smear tidak terjangkau.

Melihat kondisi demikian kiranya penting bagi pemerintah untuk megambil langkah mengurangi tingkat kematian kanker servis yang dialami perempuan Indonesia. Pertama, pemerintah harus menggratiskan pembiayaan untuk melakukan pemeriksaan pap smer. Kebijakan ini akan sangat membantu mendorong masyarakat  untuk melakukan pemeriksaan dan pencegahan kanker serviks  sejak dini. Kedua, pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahaya kanker serviks dan cara pencegahannya sejak dini. Sosialisasi dapat berlangsung lebih masif dengan melibatkan organisasi-organisasi sosial perempuan yang mengakar di masyarakat.

Selain itu, bagi gerakan perempuan yang mengusung kesetaraan dan keadilan gander harus berperan dalam mengurangi penderita kanker serviks di Indonesia. Gerakan perempuan dapat menyandingkan program sosialisasi dan penyadaran tentang mencegah kanker serviks dan merawat tubuh sehat dengan program perjuangan mengenai kesetaraan ataupun persoalan ekonomi-politik perempuan lainnya. Kesadaran ini akan menumbuhkan pengetahuan tentang bagaimana harus memperlakukan tubuh yang berdaulat. Di samping melakukan penyadaran, gerakan perempuan juga harus mendesak pemerintah agar memberikan fasilitas kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan guna mengurangi persoalan kanker serviks ataupun kanker payudara di Indonesia.

Minaria Chrystin, S.H, Ketua Umum Aksi Perempuan Indonesia Kartini (API-Kartini)

Sumber: Berdikari Online