Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Pemerataan Seperti Apa Pak Presiden?





Fokus agenda pemerintah pada tahun 2017 yaitu pemerataan. Pernyataan ini menegaskan bahwa ada kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan berbangsa kita. Presiden sendiri yang menegaskan keadaan senjang yang berlangsung sehingga membutuhkan fokus dan kerja keras mengatasi realitas kesenjangan dan ketimpangan.

Caranya?

Karena umum menganggap bahwa kesenjangan dan ketimpangan yang terjadi adalah soal kesempatan, maka rakyat miskin hendak diberi peluang atau kesempatan untuk berkembang. Rakyat miskin itu  didekatkan pada akses modal (baca juga: utang dengan jaminan lahan yang telah dimudahkan tersertifikasi) agar bisa menjadi “pengusaha”: pengusaha kecil yang mungkin kelak menjadi pengusaha besar yang penting bisa mengatasi atau memutus rantai belenggu kemiskinannya.

Apakah rakyat miskin yang diberi kesempatan itu bisa berkembang di tengah persaingan ekonomi yang sama-sama ingin bertumbuh? Atau justru bukan pemerataan yang tercapai tetapi semakin jatuh miskin sebagaimana juga dikhawatirkan Kompas, “Kita menginginkan pemerataan ini berkelanjutan. Karena itu, setelah legalisasi lahan, misalnya, harus ada kepastian lahan tidak berpindah tangan dan akhirnya siklus kemiskinan gagal diputus.” (Kompas edisi 6 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul “Pemerataan yang Berkelanjutan”)

Tapi bukankah setiap manusia harus berusaha dan tidak menyiakan kesempatan yang ada walau itu berupa kesempatan dalam kesempitan? Manusia berencana, biarlah Tuhan yang menentukan. Ingatlah pada sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa.

Presiden Jokowi tentu mempunyai niat luhur untuk mengajak pemerintahan yang dipimpinnya ini bekerja keras mengatasi kesenjangan dan ketimpangan yang ada. Tapi bisakah janji pemerataan Presiden Jokowi menjadi kenyataan di tengah sistem ekonomi yang tidak memberikan karpet merah pada jalannya pemerataan? Atau janji ini seperti juga janji pemerataan para pemimpin yang lain sebagai penina bobok dari mimpi buruk?

Pada masa lalu di tengah penjajahan kolonialisme yang menjadikan ketimpangan dan kesenjangan meraja-lela, janji pemerataan telah menggerakkan rakyat dan bersatu untuk mengenyahkan kolonialisme. Saat itu, rakyat melihat kesempatan dan peluang besar untuk berubah dan mencapai kemakmuran bila Indonesia merdeka. Kesempatan itu diletakkan pada perubahan sistem ekonomi dan politik. Sistem ekonomi kolonial ditiadakan dan dijanjikan bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas-asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Tetapi kata-kata yang tertulis masih tetap saja hanya kata-kata yang tertulis hingga kesenjangan dan ketimpangan terus berlangsung sampai pada hari ini. Benarlah kata Rendra: “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

Sebaiknya, Presiden Jokowi juga berkaca pada Orde Baru yang teksnya juga dipenuhi dengan janji pemerataan sehingga kita kenal “Delapan Jalur Pemerataan” sebagai bagian dari janji Trilogi Pembangunan yaitu: Stabilitas Politik,  Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Hasilnya, di samping Politik yang represif yang berakibat kejahatan kemanusiaan, juga kejahatan ekonomi yaitu berkembangnya Korupsi.

Mubyarto mengritik jalannya ekonomi Orde Baru ketika mulai fokus pada adegan pemerataan:

“Kini pada saat memulai Pelita (Pembangunan Lima Tahun) tahap ketiga, yang tujuannya ingin lebih meratakan kegiatan pembangunan (dan hasil-hasil pembangunan) sehingga lebih sesuai dengan sila Keadilan Sosial tersebut, maka tokoh-tokoh pemikir kita banyak mempertanyakan: apakah teori-teori ekonomi Neoklasik yang telah berjasa sebagai pegangan dasar pelita I dan Pelita II, juga akan mampu memberikan pegangan dasar bagi pencapaian tujuan Pelita III.”

Menurut Mubyarto, pertanyaan ini diajukan karena teori-teori ekonomi Neoklasik yang banyak menggantungkan pada kekuatan pasar untuk melaksanakan alokasi sumber daya dalam masyarakat dianggap oleh para pengamat sebagai lebih banyak menumbuhkan golongan ekonomi kuat dan kurang mampu meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah. Kata Keynes, tujuan yang berbeda tidak dapat dicapai hanya dengan mengubah kebijaksanaan dan strategi tetapi harus dengan cara mengubah teorinya, yaitu teori ekonomi yang melandasi kebijaksanaan dan strategi ekonomi itu. Mubyarto pun mengusulkan agar Teori Ekonomi Pancasila dikembangkan di Indonesia. (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, LP3ES, Jakarta, 1990;5-6)

Pertanyaan pun kini pantas diajukan kepada Presiden Jokowi yang juga sedang fokus pada pemerataan ekonomi pada tahun ini: atas dasar teori ekonomi apakah fokus pemerataan ini Pak Presiden? Atau ini hanyalah gula-gula yang bisa berakhir menjadi  tragedi bagi rakyat kecil?

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)