Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Menyalakan Api Sumpah Pemuda

1-riri-damayanti-john-latief-s-psiOleh Riri Damayanti John Latief*

KEJADIANNYA memang sudah lama sekali, 28 Oktober 1928. Proses terjadinya sendiri juga sangat spontan, dimana Muhammad Yamin, yang saat itu berusia 25 tahun, mengedarkan secarik kertas kepada pimpinan rapat, Soegondo Djojopoespito, lalu diedarkan kepada para peserta rapat yang lain. Dari secarik kertas itulah lahir sumpah bersejarah, Sumpah Pemuda.

Isinya hanya tiga bait. Sumpah untuk bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu dan menjunjung bahasa persatuan, yang semua diabdikan untuk satu nama Indonesia. Pertemuan saat itu dihadiri berbagai macam organisasi seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, PPPI, Pemuda Kaum Betawi dan lain-lain.

Sikap pemerintah penjajahan Belanda awalnya menganggap remeh pertemuan itu. Van Der Plass, seorang pejabat kolonial untuk urusan negara jajahan, menertawakan keputusan kongres untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tapi ternyata Van Der Plass terlalu pongah. Sumpah itu menjadi api yang menyatukan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda.

Bung Karno, presiden pertama Indonesia, menganggap Sumpah Pemuda ini sebagai fondasi yang penting untuk menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi ia mengingatkan secara kuat, jangan mewarisi abunya, tapi warisi apinya. Kalau sekedar mewarisi abu, artinya pemuda sudah cukup puas dengan satu bahasa, bangsa dan tanah air semata. Padahal, bagi Bung Karno, itu bukan tujuan akhir.

Pesan Bung Karno, setelah bersatu dalam berbahasa, berbangsa dan bertanah air, maka tujuan berikutnya adalah membentuk pemerintahan sendiri, mandiri, tidak bergantung kepada pihak luar, menjadikan negeri ini sebagai negeri yang masyarakatnya adil dan makmur serta menjadi jalan untuk membangun persahabatan antarbangsa yang abadi.

Masihkah cita-cita itu terpelihara dengan baik? Coba kita lihat. Setelah 88 tahun sumpah itu dideklarasikan oleh pemuda, masih banyak rakyat yang hidup susah, pengangguran dimana-mana, anak-anak yang seharusnya sekolah masih banyak kita temui di jalanan, pekerja kita banyak yang dibayar murah dan negeri yang makmur ini masih meminta kepada rakyatnya iuran dalam membiayai kesehatan rakyatnya.

Sementara perekonomian kita makin jauh dari cita-cita Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dimana sebagian besarnya dikuasai oleh swasta asing. Utang negara kita terus menumpuk. Sanak saudara kita banyak yang terpaksa menjadi pekerja kasar di luar negeri. Mobil, motor, telepon genggam, beras, bahkan peniti yang kita pakai sehari-hari masih kita impor dari luar negeri.

Adakah pemuda kita memikirkan masalah ini dengan baik sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuda 88 tahun yang lalu saat mereka merumuskan Sumpah Pemuda? Kembali ke pernyataan Bung Karno, mewarisi api Sumpah Pemuda adalah kembali melawan segala bentuk penjajahan baru yang saat ini telah merasuki negara kita dalam bentuk regulasi, utang luar negeri dan penyerahan segala keperluan kita ke tangan pasar.

Agar penjajahan gaya baru itu bertahan, kita dibuat ribut dalam hal-hal remeh seperti kesukuan dan keagamaan. Padahal, kebuntuan mengenai hal itu sebenarnya sudah dipecahkan oleh pemuda kita 88 tahun silam melalui Sumpah Pemuda tersebut. Cukup! Kita harus kembali kepada api, kepada semangat Sumpah Pemuda untuk menghancurkan penjajahan baru yang memiskinkan dan membuat bangsa kita terbelakang.

Pemudi-pemuda Indonesia yang mewarisi api Sumpah Pemuda harus terjun ke dalam politik dan mengubah agar kekuasaan politik mengabdi kepada rakyat. Sebab, pemuda yang tak mewarisi api Sumpah Pemuda adalah pemuda yang membiarkan kekayaan Indonesia terus dihisap. Pemuda yang tak mewarisi api Sumpah Pemuda adalah mereka yang tak peduli dengan gurita korupsi dan bahaya laten narkoba.

Coba renungkan. Masa depan setiap bangsa terletak di pundak para pemudanya. Menghabiskan masa muda dengan hura-hura dan foya-foya hanya akan menjadikan masa depan Indonesia suram, memperpanjang barisan kemiskinan dan membuat negeri ini semakin tertinggal. Sebaliknya, Sumpah Pemuda telah membuktikan bahwa ketika pemuda mempunyai semangat dan tekad yang bulat, penjajahan yang berlangsung ratusan tahun pun sirna.

*Anggota DPD RI