Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Berita Ramadhan: Perjalanan Puasa Terindahku Bersama Ibu

Informasi: Kirimkan tulisan kegiatan Ramadhan anda dilengkapi foto kegiatan dan KTP. Kirim ke email: pedomanbengkulu@gmail.com. Semoga berkah Ramadhan Rp 200.000 bisa anda menangkan. Program Berita Ramadhan Berhadiah ini dipersembahkan oleh Anggota DPD RI, Riri Damayanti John Latief, S.Psi. Marhaban ya Ramadhan. Mari tingkatkan amal ibadah di bulan suci ini. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1437 Hijriah



C360_2016-06-18-17-54-57-367*IMAMUL MUTTAKHIDAH


“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15)

Ayat Quran diatas adalah deduksi dari hikmah yang saya resapi berdasarkan pengalaman Ramadhan kali ini. Semuga menjadi pengingat yang baik dalam momen yang penuh limpahan Rahmah-Nya.a

Setelah hampir dua tahun saya berada di Bengkulu, hampir dua tahun pula saya berpisah dengan ibu. Awal ramadhan lalu, saya berkesempatan untuk menjemput ibu dari tanah kelahiran saya di Jawa. Selain fisik saya yang tergolong kecil (BB 40kg, tinggi 151 cm), kesan patriarkal juga menghinggapi diri. Apakah saya mampu menjaga ibu sepanjang perjalanan nanti. Namun, ibu tidak pernah menyinggung kemampuan saya, dalam hal ini, untuk menjaganya. Padahal sebagai bungsu, semua kakak saya terus menerus mengingatkan saya agar tidak lengah, tanggungjawab keselamatan ibu yang terpenting. Jadi jika saya lengah, bukan hanya resiko keselamatan ibu yang dipertaruhkan tetapi juga resiko menghadapi kemarahan saudara-saudara saya.

Hari keberangkatan tiba, kami menggunakan alat transportasi udara. Selain menghemat waktu, efisiensi tenaga juga menjadi pertimbangan utama mengingat kali ini saya berangkat bersama ibu. Sekedar informasi saja, bahwa ibu sudah menginjak usia 68 tahun perjanuari 2016 lalu. Bisa dibayangkan, bagaimana kualitas fisiknya. Beberapa petugas bandara bahkan mengingatkan nenek saya (yang dimaksud adalah Ibu) untuk cek kesehatan sebelum keberangkatan. Saya tersenyum saja, mungkin mereka melihat saya dan ibu sebagai pasangan nenek dan cucu. Dan pandangan itu sudah biasa saya terima sejak kecil.

Ibu termasuk sosok perempuan yang tangguh dimata saya. Dari mengandung (saya) pada usia 43 tahun dan merawat saya sampai 25tahun terakhir, penuh perjuangan dan hampir tanpa menyerah. Ini adalah kesempatan saya untuk menunjukkan bahwa saya (secara pribadi) bukan bungsu se-manja dulu, saatnya tugas ibu menjaga saya berganti sebaliknya. Untung ibu bukan penganut patriarkal yang memberi kepercayaan penuh dan kesempatan hanya kepada anak laki-laki. Jadi saya cukup percaya diri saat itu.

Sesampai di Bandara internasional Juanda, Surabaya. Ibu dibuat pusing oleh lalu lalang orang di Bandara tersibuk nomor dua di Indonesia tersebut. Dari proses check in hingga memasuki ruang tunggu. Saya melihat ibu sudah kelelahan, wajar saja Juanda memiliki luas terminal sebesar 51.500 m2 meski kami hanya melewati sepersekian bagian di terminal 1 dari luas seluruhnya. Dalam perjalanan awal ini saya selalu berjalan disamping ibu, karena beliau tidak tahu arah kemana akan menuju. Dan saya sadar betul bahwa ibu saya semakin tua, bukan saja secara psikologis yang mengalami penurunan. Tetapi juga tampak nyata pada kondisi fisiknya yang mudah letih dan langkah kakinya yang mulai melambat.

Jika saya tidak ingat bagaimana kasih-sayangnya, dan pengorbanannya untuk saya. Mungkin saya tidak akan mampu membesarkan kesabaran hati untuk terus menemani langkahnya apapun yang akan terjadi. Saya sempat menawarinya untuk duduk dikursi roda agar saya dorong saja tapi beliau menolak karena beliau masih sanggup berjalan, ujarnya. Dan saya camkan dalam pikiran, dialog seorang penduduk Yaman dengan Ibn Umar. Diketahui orang tersebut sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu lalu bertanya kepada Ibn Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.” (Adabul Mufrad no. 11;  Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Saya tiada berhenti berdoa, sebab inilah perjalanan dengan tanggungjawab terbesar sepanjang usia saya ini.

Untuk sampai ke Bengkulu, kami harus transit ke Bandara Internasional Soekarno-hatta (soeta), Cengkareng. Sebab tidak ada penerbangan langsung menuju Bengkulu, kecuali penerbangan khusus memakai maskapai besar. Perjalanan dari Surabaya-Cengkareng memakan waktu kurang lebih 1 jam 30 menit. Syukurlah berjalan lancar.

Karena menggunakan maskapai yang berbeda dengan sebelumnya. Setiba di bandara Soeta, saya melakukan check in ulang, lagi-lagi ibu saya biarkan duduk diruang tunggu sementara saya mengantri. Ini pengalaman pertama saya transit dengan dua maskapai berbeda, ternyata mempunyai rute yang berbeda dan lebih jauh dibandingkan menggunakan satu maskapai yang sama. Saya pun sempat menanyakan kepada ibu, apakah beliau masih tahan puasa? Namun ibu mengatakan masih kuat menahan lapar dan haus, hanya kaki-kakinya yang semakin linu. Akhirnya saya putuskan untuk berjalan pelan saja, karena kalau kita duduk kita akan ketinggalan pesawat.

Rupanya transit kali ini tidak ada jeda. Separuh perjalanan mencapai entry gate pesawat saja, saya tempuh dengan ibu sekitar 15 menit. Tidak lama kemudian panggilan terdengar dari pusat informasi menyebut nama saya dan ibu, memberitahukan bahwa kami ditunggu agar segera memasuki kabin pesawat karena penumpang yang lain sudah menunggu. Panggilan tersebut terdengar hingga tiga kali. Namun, pada kondisi ini saya tidak mau panik. Sekali lagi, keselamatan ibu yang utama. Saya menginstruksikan ibu untuk tetap tenang, hal ini sudah biasa (padahal saya sendiri baru pertama kali dan cukup khawatir).

Akhirnya saya bergegas menuju pusat informasi, menginformasikan kondisi ibu yang sebenarnya. Dengan berbagai percakapan, tidak lama kemudian satu petugas dengan seragam maskapai yang saya pakai datang dan menuntun ibu. Selanjutnya kami melakukan penerbangan dan selamat sampai Fatmawati, Bengkulu. Alhamdulillah.

Ini adalah perjalanan saat Ramadhan yang tidak akan saya lupakan. Dan menjadi penguat dalam diri bahwa resiko yang besar membutuhkan doa dan kemampuan yang besar pula. Secara logika, sebenarnya saya membuat kecerobohan dengan mengambil jadwal transit yang pendek. Saya tidak memperhitungkan waktu istirahat yang dibutuhkan dan kondisi fisik ibu. Padahal saya bisa rugi dan ketinggalan pesawat karenanya. Dalam teori ekonomi, keadaan ini disebut moral Hazard yang mana berkaitan dengan sifat, pembawaan dan karakter manusia yang dapat menambah besarnya kerugian dibanding dengan resiko rata-rata yang saya ambil. Disisi lain, Tuhan YME menunjukkan kebesaran-Nya dengan melancarkan perjalanan kita hingga tujuan. Tidak lain karena saya bersama ibu, manusia istimewa sebagaimana Firman-Nya dan sabda Rasulullah dalam kitab-kitab yang saya baca.

Ibu, Selalu.., Membuatku malu.., Menangis diam-diam, dan berbisik “aku mencintaimu”

KTA*Catatan ini saya persembahkan untuk ibunda tercinta Musriatun. Sebagai anak kelahiran Lamongan, 21 Januari 1991. Saat ini tinggal di Telaga Dewa II Perum Taman Erika Nomor 39 Kel. Pagar Dewa Kelurahan Selebar Kota Bengkulu. Sekarang mengambil Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Bengkulu.