Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Para Pendiri Bangsa yang Menggilai Buku

JAKARTA, PB - Sejarah mencatat para penggerak kebangkitan nasional Indonesia adalah kaum muda terpelajar. Sejak tingkat Sekolah Dasar anak-anak di tanah air telah terbiasa membaca nama-nama dan profil kaum terpelajar Indonesia di masa penjajahan kala itu.

Ada yang kiranya perlu menjadi perhatian para anak bangsa saat ini. Dahulu, para pemuda yang menjadi motor penggerak kebangkitan nasional dijuluki sebagai kaum muda terpelajar bukan hanya karena mereka kebetulan beruntung bisa menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang ada pada masa penjajahan ketika itu, melainkan juga karena banyak dan luasnya wawasan yang mereka serap.

Ide pergerakan nasional yang muncul di kepala kaum muda terpelajar kala itu antara lain berasal dari pemikiran dalam buku-buku yang mereka baca. Bukan suatu kebetulan para pendiri Republik Indonesia seperti Tan Malaka, Sukarno maupun Mohammad Hatta adalah tokoh-tokoh yang dikenal gemar membaca buku. Bahkan, mereka dikenal sebagai para pencinta dan penggila buku.

1. Tan Malaka

Tan Malaka mendapat gelar Pahlawan Nasional sejak 28 Maret 1963. Lelaki kelahiran Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini disebut-sebut sebagai orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik lewat buku Naar de Republiek Indonesia yang ia tulis pada tahun 1925. Buku ini kemudian menjadi pegangan politik para tokoh pergerakan nasional, termasuk Sukarno.

Penggagas awal Republik Indonesia ini adalah salah satu tokoh nasional yang berpikiran paling revolusioner pada masa penjajahan Belanda. Pengetahuan Tan tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah ia membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seorang kenalannya sebelum ia berangkat ke Belanda pada tahun 1913.

Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia juga mulai tertarik membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Di Belanda, Tan sempat tinggal di kamar loteng sebuah rumah kecil yang terletak di Jacobinestraat, sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt yang lebarnya tak lebih dari lima meter. Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries. Toko buku inilah yang menjadi tempat kesukaan Tan selama tinggal di Jacobinestraat (Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa-Tan Malaka, 2017).

"Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi".- Tan Malaka

Selama dibuang ataupun berpindah-pindah tempat tinggal ke Belanda, Rusia, Filipina, maupun Tiongkok, Tan tak pernah berhenti membaca buku. Ia sebenarnya ingin seperti Leon Trotsky ataupun Mohammad Hatta yang bisa mengangkut berpeti-peti buku ke tempat pembuangan.

Namun sayang keadaan tak memungkinkan Tan untuk membawa serta buku-buku bacaannya ke tempat pembuangan. “Saya menyesal karena tak bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu,” tulis Tan dalam Madilog (1943).

Namun begitu, Tan selalu membeli buku-buku di manapun ia dibuang selagi ia masih bisa membelinya. Tan berusaha membentuk “perpustakan baru” di setiap tempatnya tinggal. Bahkan, dalam bukunya, Madilog, ia mengaku lebih memilih mengurangi membeli makanan maupun pakaian demi bisa membeli buku-buku.

2. Sukarno
Proklamator kemerdekaan sekaligus presiden pertama Republik Indonesia ini juga dikenal sebagai pencinta buku. Membaca banyak buku membuatnya mampu memahami banyak hal, antara lain pemikiran tokoh-tokoh besar dunia.
Megawati pernah menceritakan ayahnya gemar membaca buku secara sporadis. Bung Besar terbiasa membaca lima buku sekaligus. Di toiletnya, ada satu meja dua laci tempat menyimpan buku-buku yang sedang ia baca.
Suatu kali Mega mengambil salah satu buku dan tak mengembalikan ke tempatnya semula. Bung Karno menyetrapnya karena Mega lupa pada halaman berapa buku itu sedang terbuka (Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa-Sukarno, 2017).

Selain kutu buku, Bung Karno juga dikenal sebagai orator ulung. Salah satu peristiwa yang paling luar biasa adalah ketika ia membacakan pidato Indonesia Menggugat dalam persidangan di Landraad, Bandung pada tahun 1930. Pidato pembelaan yang ia bacakan saat itu membuat muka pemerintah kolonial Hindia-Belanda merah padam akibat malu sekaligus marah.

Isi pidato Indonesia Menggugat yang dibuat Sukarno adalah tentang keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah. Pidato pembelaan ini kemudian menjadi salah satu dokumen politik yang penting dalam menentang kolonialisme dan imperialisme.

Uniknya, Sukarno membuat naskah pledoi Indonesia Menggugat itu dari balik jeruji besi. Lelaki kelahiran Surabaya, 6 Juni 1901 itu memang menghabiskan sebagian masa mudanya di dalam penjara dan tempat pembuangan. Pada 29 Desember 1929 ia ditangkap Belanda di Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Di dalam ruang tahanan Blok F Nomor 5 yang berukuran 1,5 X 2,5 meter itulah Bung Besar menyusun pledoi Indonesia Menggugat dengan bermodalkan setumpuk buku. Buku-buku itu ia peroleh dari istrinya, Inggit Ganarsih, yang tekun menyelundupkan buku lewat stagen alias korset. Tak kurang ada sekitar 66 nama tokoh yang dikutip Sukarno dalam pledoi Indonesia Menggugat, antara lain Karl Marx, Karl Kautsky,  Henriette Roland Holsts, Jean Jaures, Troelstra, Sneevliet, Sun Yat Sen, Mazzini, Sarojini Naidu, Mustafa Kamil, Rudolf Hilferding, August de Wit, Snouck Hurgronje, J. Pieter Veth dan Multatuli.

Selain pledoi Indonesia Menggugat, Sukarno juga dikenal sebagai penulis banyak buku lainnnya. Di antara karya-karyanya, yang paling terkenal adalah dua jilid buku tebal berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Banyaknya kata-kata bernas nan menggugah tak mungkin bisa Sukarno tulis seandainya ia bukanlah seorang pencinta dan pembaca buku yang tekun.

3. Mohammad Hatta

Sosok proklamator yang satu ini tak bisa dilepaskan dari buku. Ada anekdot yang mengatakan istri pertama Mohammad Hatta adalah buku, istri keduanya adalah buku, dan istri ketiganya barulah Rahmi Rahim.
Lelaki kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902 ini menikah dengan Rahmi pasca kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada 18 November 1945. Hatta baru menikah pada usia 43 tahun karena sebelumnya ia telah berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia memperolah kemerdekaan.

Uniknya, peristiwa pernikahan Hatta pun tak luput dari buku. Maskawin Hatta untuk Rahmi adalah buku berjudul Alam Pikiran Yunani, sebuah buku tentang filsafat yang ia tulis sendiri. Awalnya ibunda Hatta tak setuju dengan maskawin yang dipilih putranya, tapi Hatta berkukuh buku yang ia kerjakan sendiri itu lebih berharga ketimbang emas, uang, maupun bentuk hadiah pernikahan lainnya.

Kecintaan Hatta terhadap buku telah tampak sejak ia kecil. Uang sakunya sebesar satu gobang (25 sen) disimpan untuk membeli buku. Saat menjadi mahasiswa di Amsterdam, kamar Hatta penuh sesak dengan buku. Bahkan, setelah berkeluarga pun, Hatta tak penah memiliki deposito, hanya karena semua tabungannya dibelanjakan untuk buku (Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa-Hatta, 2017).

Di tengah kolonialis Belanda yang berkuasa di Indonesia saat itu, Hatta tetap tak bisa berpisah jauh dari buku-bukunya. Saat diasingkan ke Banda Neira, kemudian ke Boven Digoel, maupun kembali ke Jakarta, Hatta selalu membawa serta buku-bukunya. Seluruhnya ada 16 peti, menurut keterangan Meutia Farida Hatta, putri sulung Hatta.

Dalam buku berjudul Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan (1980), pengusaha Hasyim Ning yang masih terhitung keponakan Hatta menceritakan sang paman pernah meminjamkan buku kepadanya. Suatu kali saat Hasyim sedang membolak-balik buku dan Hatta melihat ada bukunya yang terlipat, Hatta marah besar dan menyuruh Hasyim mengganti buku tersebut.
Hasyim pun keliling Jakarta untuk mencari pengganti buku Hatta tapi tak menemukannya karena Hatta membeli buku tersebut di Eropa. Sewaktu melihat Hasyim pulang dengan tangan hampa, Hatta justru tersenyum. Ia hanya ingin memberi pelajaran kepada Hasyim untuk menghormati buku.

Meski terkesan protektif terhadap buku miliknya yang dipinjam orang lain, penggila buku yang satu ini juga dikenal dermawan karena gemar memberikan hadiah buku kepada orang lain. Des Alwi, “anak angkat” Hatta, mengaku pernah diberikan beberapa buku oleh Hatta, salah satunya adalah Don Quixote karya Miguel de Cervantes Saavedra.

Sebagaimana Sukarno, Hatta juga dikenal sebagai penulis yang produktif berkat kegemarannya membaca. Bahkan mungkin ia merupakan tokoh yang paling banyak menulis buku pada masa pergerakan. Menurut Sri Edi Swasono, profesor ekonomi Universitas Indonesia yang juga merupakan menantu Hatta, sedikitnya hingga tahun 1972 mertuanya telah menulis 42 buah buku dan itu belum termasuk tulisan-tulisan lainnya yang tersebar dalam surat kabar, brosur maupun majalah.

Seperti juga Bung Karno, Hatta terbiasa menulis di dalam penjara. Dengan 16 peti buku yang ia bawa-bawa ke lokasi pengasingan ataupun pembuangan, Hatta tetap bisa membaca dan menulis banyak hal. Bersama buku ia merasa jiwanya bebas meski raganya berada di dalam penjara.

"Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas".  - Mohammad Hatta [AM]

Sumber: kumparan.com