Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Merayakan Feodalisme


Ilustrasi kunjungan Raja Arab Saudi ke Indonesia

Dari sekian banyak kunjungan pemimpin negara asing ke Indonesia, mungkin kunjungan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulazis, yang terheboh.

Kenapa kunjungan Raja Salman begitu heboh? Selain karena ini kunjungan bersejarah—ini kunjungan pertama Raja Arab Saudi setelah 47 tahun, juga karena kunjungan ini bertepatan dengan menguatnya konservatisme di Indonesia.

Dari berbagai bumbu-bumbu kehebohan itu, yang agak menonjol adalah kemewahan kunjungan Raja Salman. Mulai dari rombongan yang super-gede, yakni 1500 orang, yang diangkut dengan 6 pesawat Boeing. Tangga mororized-escalator yang dibawa khusus. 300-an ratusan mobil mewah yang didatangkan khusus. Juga mebel mewah dan perlengkapan mewah lainnya.

Linimasa facebook dipenuhi unggahan foto interior pesawat kerajaan Saudi. Interior pesawat itu, Masya Allah, mewah sekali. Belum kemewahan tempat menginap sang raja selama di Indonesia. Tak mau kalah, media massa juga berlomba-lomba mengumbar kemewahan itu. Hanya sedikit yang bersikap kritis.

Seharusnya kita tidak perlu kaget. Arab Saudi adalah negara monarki absolut. Kekuasaan raja juga absolut. Sebagaimana kerajaan feodal di masa lalu, termasuk di Nusantara, kehidupan raja memang identik dengan kemewahan.

Hanya saja, kemewahan yang ditampikan raja Salman itu bertolak belakang dengan situasi ekonomi negerinya. Sejak jatuhnya harga minyak dunia, yang sekarang berkisar US$40-US$50/barel, ekonomi Arab Saudi turut jatuh. Defisit anggarannya 11,7 persen. Situasi itu memaksa pemerintah Arab Saudi memangkas gaji pegawai, memotong subsidi energi, dan mengutang ke sejumlah bank di Amerika, Eropa dan Jepang (Baca: Harga Minyak Anjlok, Saudi Terpaksa Ngutang Rp 131,6 Triliun).

Yang agak ironis, sebagian besar kaum konservatif di tanah air kita, yang notabene sangat puritan, justru ikut merayakan kunjungan mewah raja Salman. Mereka merayakan kemewahan itu sebagai sebuah kebanggaan.

Ini tentu ironis. Sebab, sejauh yang saya ketahui, kaum puritan itu menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa. Begitu juga dalam Islam, hidup bermewah-mewahan itu tidak baik (lihat surah Hud 11: 116).

Itu juga ironis untuk ukuran dunia modern. Setidaknya setelah revolusi Perancis, revolusi yang menumbangkan kekuasaan feodalisme itu, tata-politik modern identik dengan semangat egalitarianisme. Kas negara tidak lagi dikuras untuk membiayai gaya hidup sang pemimpin.

Tidak mengherakan, di tanah Eropa yang kerap dicap kafir oleh kaum konservatif kita, tidak jarang ditemui pemimpin politik yang bepergian dengan alat transportasi publik. Atau berbelanja layaknya orang biasa di pasar. David Cameron, perdana Menteri Inggris dari partai Konservatif itu, pernah kedapatan bepergian dengan kereta api umum.

Di Amerika Latin, di negeri yang berhaluan kiri, kita gampang menemui pemimpin bergaya hidup sangat sederhana. Mulai dari Jose Mujica, Fidel Castro, Evo Morales, Fernando Lugo, hingga Lula da Silva (Baca: Inilah Sosok 9 Presiden Paling Sederhana Di Dunia)

Di Indonesia, kita perlu mengapresiasi Presiden Joko Widodo. Mungkin, diantara kita yang kurang setuju dengan beberapa kebijakan ekonomi dan politiknya. Namun, gaya hidup Jokowi sebagai pemimpin politik patut diapreasi: sederhana dan tidak berjarak dengan rakyat banyak.

Jadi, merayakan kemewahan itu bukan hanya ironis, tetapi juga memaksa kita mundur ke peradaban belakang. Ini mental zaman feodal, bung!

Rudi Hartono