Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Agus ‘Jabo’ Priyono: Seuntai Catatan Sejarah Sebagai Refleksi Kebangsaan Kita Bersama






Tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia, terus menjadi sasaran untuk dikuasai oleh kekuatan dari luar.

Nafsu untuk menguasai atau menjajah inilah wujud dari imperialisme.

Menurut Bung Karno, imperialisme adalah sebuah sistem yang menguasai ekonomi bangsa lain. Imperialisme tidak hanya dijalankan dengan senjata, tetapi juga dengan cara yang lebih halus.

Ada empat cara imperialisme menguasai satu bangsa :

Pertama, sistem imperialisme melakukan politik divide et impera, politik memecah belah. Verdeel en heers : Pecah belah dan Kuasai!

Dengan politik adu domba, satu negara dikuasai, dijajah. Pengalaman pahit akibat politik dari imperialisme tersebut sudah ratusan tahun dirasakan oleh Bangsa Indonesia.

Melalui media massa, politik adu domba dijalankan, dan di jaman liberal seperti sekarang ini media massa (sosial) telah menjadi alat utama untuk memecah belah bangsa Indonesia, merusak sendi-sendi kebangsaan.

Media (sosial) menjadi arena  perang Bharatayudha, sesama anak bangsa saling memprovokasi, mencaci maki dan merendahkan, produksi isu melalui jaringan media sosial ini, berantai, beranak pinak,  menciptakan suasana saling curiga, yang pada akhirnya merontokkan pondasi serta pilar Persatuan Nasional.

Kedua, membuat Indonesia menjadi bangsa terbelakang, terutama dalam hal pengetahuan dan kebudayaan.

Imperialisme menghancurkan nalar dan akal budi, menjadikan bangsa Indonesia jatuh menjadi bangsa barbar yang tidak beradab, dekadensi moral merajalela, sektarianisme menjadi aliran baru dalam berpolitik, saling serang secara subyektif membela kepentingan kelompok, tanpa memikirkan dampaknya terhadap masa depan bangsa dan negara.

Rakyat hidup dalam kebimbangan intelektual dan moral.

Ketiga, menanamkan mentalitas inferior, mentalitas inlander bagi satu bangsa yang dikuasai. Menjadikan bangsa tersebut selalu merasa rendah diri dan takluk di hadapan Penjajah.

Untuk menciptakan ketergantungan dan  membenarkan sistem imperialisme dalam segala bentuknya, baik investasi, keuangan, perdagangan, penguasaan lahan, dan lain-lain.

Penaklukan mental itu butuh pembenaran ideologis.

Maka usaha-usaha imperialisme untuk mengubah filosofi, dasar dan haluan yang menjadi pondasi satu negara, terus digencarkan dengan operasi-operasi terselubung, bekerja sama dengan agen-agen komprador di dalam negeri, sampai terbentuk sistem yang memberikan karpet merah serta perlindungan terhadap imperialisme tersebut secara konstitusional.

Selama bangsa Indonesia dikuasai imperialisme, akan selalu dibius dengan persepsi bahwa “inlander bodoh”, agar kepercayaan diri dan kebanggaan nasionalnya hancur lebur.

Keempat, imperialisme selalu berusaha menyakinkan rakyat jajahan bahwa ada persamaan kepentingan antara mereka dengan bangsa yang dikuasai, bangsa jajahan.

Di lapangan ekonomi, kaum imperialis selalu berpropaganda bahwa mereka membawa keuntungan, seperti adanya industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.

Mereka juga berproganda bahwa penanaman modal asing, (sebagai salah satu bentuk dari imperialisme) akan menguntungkan negara, menghasilkan pembangunan, pembukaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya.

Menurut Bung Hatta, kerusakan yang ditimbulkan modal asing (imperialisme) berpuluh-puluh kali lipat lebih besar dibanding “jasa” yang dihasilkannya. Manisnya dimakan oleh kaum kapitalis asing, sampahnya menimpa rakyat Indonesia!

Untuk menghadapi politik imperialisme tersebut, menurut Bung Karno ada empat strategi kontra imperialisme:

Pertama, menjalankan politik kontra pecah belah, yaitu Persatuan Nasional.

Bahwa persatuan bukan hanya keharusan, tetapi satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-cita nasional Indonesia Merdeka, yaitu bergotong royong membangun Indonesia yang adil makmur.

Kedua, menjalankan politik penyadaran dan edukasi.

Pendidikan yang diarahkan untuk membangun kemandirian dan kepribadian nasional.

Seperti yang dilakukan Bung Karno, selain sekolah formal, Partai Politik sebagai pilar bangsa semestinya juga melaksanakan pendidikan politik kepada anggotanya, dengan kursus-kursus politik massal, membangun karakter kebangsaan di kalangan anggotanya, bukan sekedar mengedepankan nafsu kekuasaan semata tanpa dilandasi konsep kebangsaan yang jelas, mabuk kekuasaan, hanya sekedar memperjuangkan kelompoknya duduk dalam pos-pos kekuasaan, melupakan kepentingan nasional, kepentingan bangsa Indonesia.

Ketiga, membabat habis mental inferior atau perasaan rendah diri, dengan membangun rasa percaya diri atas kemampuan bangsa sendiri dengan semangat berdikari.

Pendidikan formal maupun pendidikan di luar sekolah, seperti Partai Politik, Organisasi Massa, Media Massa, dan lain-lain, harus dijadikan alat untuk membangun kesadaran kebangsaan, membentuk karakter bangsa, dengan prinsip kemandirian dan kepribadian.

Di lapangan ekonomi, semangat berdikari juga harus dibangkitkan, mestinya inilah tugas utama negara bersama rakyat, membangun dan mengembangkan koperasi dan ekonomi rakyat seluas-luasnya, sebagai basis membangun ekonomi nasional, untuk mengikis ketergantungan kepada imperialis.

Perhimpunan ekonomi, dalam bentuk usaha rakyat berdasarkan prinsip gotong royong harus terus diutamakan serta dikembangkan.

Itulah cara kita mengikis mental inferior inlander. Memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi harus dilaksanakan.

Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno terus menerus mengajak segenap bangsa Indonesia membangun karakter bangsa, untuk menciptakan manusia baru Indonesia, yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.

Keempat, menentang segala bentuk kerjasama politik, antara bangsa terjajah dengan imperialis.

Kerja sama dengan imperialisme hanya akan menjadi legitimasi bagi penjajah untuk merampok sumber daya alam dan merendahkan martabat bangsa.

Bangsa Indonesia memang sudah sepantasnya bersikap tegas terhadap kekuatan manapun yang berniat menguasai Indonesia, walupun sikap tegas tersebut bukan berarti menolak kerjasama dengan negara dan bangsa lain manapun, selama kerjasama tersebut tidak berwatak imperialis, tetapi kerjasama yang  diletakkan di atas prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai martabat bangsa serta kemanusiaan.

Itulah prinsip-prinsip yang diajarkan Bung Karno dan Bung Hatta dalam menghadapi imperialisme, agar bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, karena Trisakti tersebut adalah prasyarat utama untuk membangun masyarakat Indonesia yang bersatu padu, adil makmur, lahir batin.

Dan tanpa keadilan dan kemakmuran, mustahil Persatuan Nasional bisa ditegakkan…

Kita harus segera bangun dari mimpi panjang kita, musuh sedang mengepung rumah kita.

Ayo, kita bangkitkan kembali semangat kebangsaan kita, satu semangat kebersamaan yang telah digelorakan oleh putera-puteri bangsa Indonesia, jauh hari sebelum kita merdeka, satu semangat yang melepaskan sekat-sekat primordialisme, demi kemajuan bangsa Indonesia, yang dengan tegas menolak segala bentuk “penindasan satu bangsa terhadap bangsa lain dan penindasan manusia atas manusia lainnya…”

Di atas pondasi Pancasila!

Indonesia Bersatu, Tak Bisa Dikalahkan!

Salam Gotong Royong,

Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD)