Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Deponering Demi Kepentingan Umum

111Zico Junius Fernando, S.H., M.H, Akademisi dan Praktisi Hukum

Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok.

Selama beberapa hari belakangan ini, ada beberapa istilah hukum yang ramai diberitakan tentang wacana yang tersebar diberbagai media cetak maupun online soal adanya rencana Presiden Jokowi meminta Jaksa Agung agar menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atau mengesampingkan perkara (deponering) atas kasus yang melibatkan Mantan Ketua KPK Abraham Samad, Wakil Ketua KPK, Bambang Widjajanto dan Penyidik KPK, Novel Baswedan. Sebagian dari masyarakat mungkin kurang akrab dengan istilah-istilah tersebut karena memang hanya dipergunakan ketika ada persoalan hukum tertentu yang sedang terjadi dalam masyarakat.

Di dalam Pasal 35 sub c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun penjelasannya mengatakan penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum adalah sebagai berikut: yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas dimana suatu perkara (perbuatan pidana) bilamana dilimpahkan ke persidangan diperkirakan akan menimbulkan suatu goncangan di kalangan masyarakat atau dengan penyidangan perkara tersebut akan menimbulkan akibat negatif di kalangan masyarakat luas.

Kemudian dalam KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf yang berbunyi: “Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Seperti pada uraian diatas, deponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar. Secara garis besar kepentingan umum yang dimaksud harus sesuai dengan tujuan dan cita-cita hukum bangsa Indonesia dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 adalah kepentingan Negara yang tercermin dalam pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga-lembaga Negara khususnya bagi penyelengara wewenang dan tugas pemerintah, dan kepentingan masyarakat yang tercermin dalam hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) akan membawa dampak bagi hukum, baik terhadap proses peradilan terlebih lagi kepada elemen-elemen yang melaksanakan suatu proses peradilan tersebut. Dampak negatifnya, yaitu adanya penyampingan perkara (deponering) akan menimbulkan kekhawatiran akan proses yang tidak transparan yang berpotensi menciptakan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) sehingga dapat menimbulkan dan menciptakan kerancuan dalam sistem hukum serta tatanan hukum di Negara Indonesia. Sedangkan dampak positif penyampingan perkara (deponering) dapat memberikan kontrol terhadap goncangan dan gejolak atas fenomena kasus-kasus tertentu di masyarakat.

Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di persidangan, karena akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain. Sedangkan pada masa reformasi, penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum ini pernah diberikan salah satunya di dalam kasus yang dialami oleh Petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah karena banyak mendapatkan perhatian masyarakat.