Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Kabut Asap Tak Masuk Kategori Bencana Nasional

[caption id="attachment_6592" align="alignleft" width="300"]PRESIDEN TINJAU KEBAKARAN LAHAN PRESIDEN TINJAU KEBAKARAN LAHAN[/caption]

JAKARTA, PB - Permintaan beberapa pihak agar bencana asap akibat karhutla dijadikan bencana nasional harus pupus. Sebab, UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 7 (2) menyebutkan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat beberapa indikator.

Diantaranya, sebagaimana disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, bencana nasional dilihat dari indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Penetapan status darurat bencana untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi oleh Gubernur, dan skala kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.

"Ketentuan penetapan status dan tingkatan bencana diatur dengan Peraturan Presiden (PP)," kata dia, melalui keterangan tertulisnya,
Rabu (30/9).

Hingga saat ini, lanjutnya, PP tersebut belum ditetapkan karena belum adanya kesepakatan berbagai pihak. Draft PP atau Raperpres Penetapan Status dan Tingkatan bencana ini sudah dibahas lintas sektor dan lembaga non-pemerintah sejak tahun 2009 hingga sekarang. Berulangkali dibahas dengan Unsur Pengarah BNPB bahkan dilakukan workshop nasional. Namun belum ada kesepakatan.

"Yang dimaksud Tingkatan Bencana adalah keadaan di suatu tempat yang terlanda oleh jenis bencana tertentu dan dinilai berdasarkan jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana-sarana, cakupan wilayah dan dampak sosial ekonomi, yang dibedakan menjadi lokal, daerah dan nasional. Status Bencana membedakan bencana ringan, sedang dan berat sesuai indikator tersebut," jelasnya.

Ia melanjutkan, tidak mudah membuat klasifikasi atau penentuan besaran dari masing-masing indikator. Dalam Draft PP, bencana tingkat lokal (kabupaten/kota) jika jumlah korban jiwa kurang dari 100 orang, kerugian kurang dari Rp 1 milyar, cakupan wilayah kurang dari 10 km2, Pemda masih mampu menangani berdasar SDM, sumberdaya finansial dan pemerintahan masih berjalan.

Sementara bencana tingkat Provinsi jika jumlah korban kurang dari 500 orang, kerugian kurang dari Rp 1 trilyun, cakupan wilayah lebih dari 1 kab/kota, pemda Provinsi masih berjalan. Sedangkan Bencana Nasional indikatornya korban lebih dari 500 orang,  kerugian lebih dari Rp 1 trilyun, cakupannya beberapa kab/kota lebih dari 1 provinsi, dan pemprov dan pemkab tidak mampu mengatasinya.

Indikator yang tak kalah penting, lanjutnya, apakah keberlangsungan pemerintahan di daerah kab/kota/provinsi masih berjalan.
Bupati/Walikota adalah penangggung jawab utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerahnya. Pemprov dan Pemerintah Pusat memberikan penguatan Pemkab/Pemkot. Urusan bencana adalah urusan bersama yang dalam era otonomi daerah urusan bencana juga didesentralisasikan. Artinya Bupati/Walikota menjadi penanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana di wilayahnya.

"Gubernur dengan segala sumber daya yang dimiliki memberikan bantuan kepada kabupaten/kota yang terkena bencana. Daerah tetangga memberikan bantuan pada daerah yang terkena bencana. Pemerintah Pusat memberikan bantuan yang bersifat ekstrem yang tidak dimiliki daerah, baik manajerial, pendanaan, logistik dan peralatan, dan administrasi. Jadi emda memiliki tanggung jawab besar karena otoritas mengatur daerah dan rakyatnya dengan segala kewenangan sesuai aturan yang ada," tambahnya.

Di Indonesia, Presiden menyatakan bencana nasional baru sekali yaitu saat tsunami Aceh 2004. Korban bencana saat itu lebih dari 200.000 jiwa tewas dan hilang. Kerugian lebih dari Rp 49 trilyun, Pemkab/Pemkot dan Pemprov Aceh dan Sumut lumpuh saat itu. Berdasarkan catatan sejarah kebencanaan di BNPB, hanya bencana tsunami Aceh 2004 yang dinyatakan Presiden sebagai bencana nasional. Bencana yang lain tidak ada yang diklasifikasikan sebagai bencana nasional atau ada penetapan Presiden mengenai bencana nasional.

Bencana asap akibat karhutla tahun 1997 yang berdampak 47,6 juta jiwa terpapar, 4,5 juta hektar hutan dan lahan terbakar, dan kerugian ekonomi mencapai Rp 57,6 trilyun. Bencana gempa Yogya 2006 menimbulkan korban 5.716 jiwa tewas, kerugian Rp 29 trilyun, dan berdampak pada provinsi DIY dan Jateng. Gempa Sumbar 2009 menimbulkan korban 1.117 jiwa, kerusakan di 9 kab/kota, dan kerugian Rp 21 trilyun.

"Erupsi G.Merapi 2010 menimbulkan korban jiwa 386 orang tewas, 4 kabupaten dan 2 provinsi terdampak, pengungsi 0,5 juta jiwa dan kerugian Rp 3,56 trilyun," imbuhnya.

Sementara bencana asap akibat karhutla , lanjutnya, jika menggunanakan indikator yang ada sesuai dengan UU No 24/2007, maka ada yang memenuhi dan ada pula yang tidak memenuhi. Pemda Kabupaten/Kota dan Provinsi di Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel masih utuh. Tidak lumpuh total, artinya pemerintahan masih ada, kepala daerah masih ada, pegawainya masih normal, anggaran APBD pun juga masih ada.

"Bupati/Walikota dan Gubernur beserta SKPD-nya masih mampu menjalankan pemerintahan sehari-hari. Tidak ada chaos yang menyebabkan pemerintahan lumpuh. Dampak yang ditimbulkan asap dari karhutla tahun ini memang luas. Lebih dari 25 juta jiwa terdampak asap, ratusan ribu jiwa menderita ISPA, sekolah libur, bandara lumpuh, kerugian ekonomi dan lainnya," jelasnya.

Pemerintah pusat, melalui BNPB dan Kementerian LHK sudah sejak awal memberikan pendampingan atau membantu Pemda. Hampir 95% pendanaan penanganan karhutla dari Pemerintah Pusat. BNPB mengerahkan 19 helikopter water bombing, 4 pesawat hujan buatan, memberikan peralatan pompa air, masker, bantuan dana operasional bagi personil di lapangan, mengerahkan 3.773 personil TNI dan 770 personil Polri dari pusat yang diperbantukan ke daerah. Ia mengakui minimnya APBD yang dialokasikan
untuk penanganan karhutla di daerah memang salah satu kendala.

"Sudah tahu tiap tahun terjadi karhutla, namun tidak mengalokasikan APBD yang memadai," tegasnya.

Sutopo mengatakan hingga saat ini 3 provinsi sudah menyatakan status Tanggap Darurat yaitu Riau, Jambi dan Kalteng. Sedangkan Sumsel, Kalbar, dan Kalsel masih Siaga Darurat. Padahal sudah terjadi karhutla dan asap sehingga harusnya juga sudah menaikkan status Tanggap Darurat agar ada kemudahan akses. Gubernur menyatakan masih sanggup mengatasi karhutla di daerah masing-masing dengan bantuan dari Pemerintah Pusat. BNPB mengalokasikan Rp 385 milyar untuk penanganan karhutla hingga September 2015.

"Diperkirakan BNPB akan menambah anggarannya karena karhutla masih berlangsung," ucapnya.

Saat ini ada kecenderungan setiap terjadi bencana diwacanakan menjadi bencana nasional. Ini tidak sesuai dengan visi Bangsa Indonesia yang ingin mewujudkan bangsa yang tangguh menghadapi bencana. Jika ditetapkan bencana nasional, Pemda akan menyerahkan sepenuhnya kepada pusat. Padahal bencana bisa diatasi asal kita kompak, serius, total dan dengan hati. Karhutla itu harusnya bisa dicegah selama tidak ada pembiaran dan lemahnya penegakan hukum.

"Jadi sampai saat ini tingkatan bencana asap masih bencana daerah. Belum ada pernyataan Presiden mengenai status bencana nasional dengan mempertimbangkan banyak hal. Yang perlu kita dorong adalah bagaimana karhutla tidak berulang setiap tahun. Ini adalah bencana akibat ulah manusia. 99 persen karhutla adalah disengaja. Kita dorong penanggulangan bencana menjadi prioritas pembangunan daerah, alokasi anggaran untuk bencana dari APBD ditingkatkan, personil pemda yang ahli dan profesional ditempatkan di BPBD dan lainnya. Bupati, Walikota dan Gubernur juga harus bertanggung jawab menangani bencana di daerahnya," paparnya. (Bintang Negara)