Program Revolusi Mental yang digaungkan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo sempat menjadi simbol harapan perubahan karakter bangsa. Pemerintah saat itu menekankan pentingnya pembenahan moral dan integritas aparatur negara. Namun, dalam perjalanannya, publik justru disuguhi deretan kasus korupsi besar yang mencederai kepercayaan masyarakat, mulai dari kasus Jiwasraya dengan kerugian negara triliunan rupiah, korupsi dana bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial, hingga berbagai persoalan serius yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ironi tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana program pembinaan mental benar-benar menyentuh akar persoalan integritas pejabat publik? Di tengah jargon perubahan, masih ditemukan pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dan mengkhianati amanah rakyat.
Memasuki era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, upaya pembinaan aparatur kembali dilakukan melalui berbagai program, termasuk kegiatan retreat dengan anggaran yang tidak kecil. Namun demikian, Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh aparat penegak hukum masih kerap terjadi. Kondisi ini memunculkan kritik bahwa pendekatan pembinaan yang bersifat seremonial dan administratif belum efektif membangun kesadaran moral yang mendalam.
Dalam konteks ini, penulis mengingatkan nilai spiritual sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, Surah Thaha ayat 124, yang menyatakan bahwa siapa pun yang berpaling dari peringatan-Nya akan menjalani kehidupan yang sempit. Ayat tersebut dimaknai sebagai peringatan bahwa jauhnya hati dari nilai ketuhanan dapat membawa manusia pada kesempitan moral, termasuk perilaku serakah dan penyalahgunaan kekuasaan.
Efisiensi Anggaran dan Alternatif Pembinaan
Dari sisi anggaran, kegiatan retreat konvensional bagi pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) umumnya menghabiskan biaya antara Rp500.000 hingga Rp1.500.000 per orang per hari, terutama untuk akomodasi hotel dan konsumsi. Dengan jumlah peserta sekitar 50 orang selama tiga hari, total anggaran dapat mencapai Rp105 juta hingga lebih dari Rp300 juta.
Sebaliknya, baru-baru ini seorang gubernur di Pulau Sumatra menggagas konsep Spiritual Retreat selama 72 jam bagi ASN, tenaga harian lepas (THL), dan pejabat daerah, yang diberi nama Retreat Merah Putih. Kegiatan ini dilaksanakan di masjid, bukan di hotel berbintang. Biaya yang dikeluarkan relatif kecil, berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000 per orang per hari, mencakup konsumsi sederhana, perlengkapan ibadah, sumbangan untuk masjid, serta honorarium pemandu spiritual.
Dengan skema tersebut, untuk 50 peserta selama tiga hari, total anggaran hanya berkisar Rp7,5 juta hingga Rp15 juta. Artinya, satu kali retreat konvensional dengan biaya tertinggi dapat membiayai ribuan peserta dalam program retreat spiritual. Efisiensi anggaran ini mencapai sekitar 95 persen dan dinilai sebagai pengalihan investasi dari kemewahan fisik menuju pembinaan karakter dan penyucian hati.
Pendekatan Spiritual sebagai Alternatif Solusi
Dalam konsep retreat spiritual tersebut, peserta dibekali berbagai kegiatan yang menekankan pembinaan batin dan empati sosial. Kegiatan meliputi pendisiplinan ibadah berjamaah, qiyamul lail, tilawah Al-Qur’an, dan zikir intensif. Selain itu, peserta diajak berinteraksi langsung dengan masyarakat di pasar, panti sosial, dan lingkungan kampung untuk menumbuhkan empati sebagai pelayan publik.
Peserta juga dibimbing untuk melakukan perenungan sejarah perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat, guna menanamkan kesadaran bahwa tantangan birokrasi tidak sebanding dengan ujian keimanan yang mereka hadapi. Di akhir kegiatan, peserta dibekali komitmen moral untuk menjadi pribadi yang jujur, disiplin, dan amanah, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, maupun masyarakat.
Dorongan Perubahan Paradigma Nasional
Penulis menilai sudah saatnya pemerintah melakukan lompatan paradigma dalam pembinaan aparatur negara, dari pendekatan administratif-manajerial menuju pembinaan spiritual dan hati nurani. Beberapa langkah yang diusulkan antara lain menjadikan retreat spiritual berbasis masjid atau pesantren sebagai program wajib bagi calon pejabat di posisi strategis, mengalihkan sebagian anggaran pelatihan konvensional ke program yang lebih esensial, serta membangun sistem pendampingan berkelanjutan pascakegiatan.
Integritas, menurut penulis, hanya dapat tumbuh ketika rasa takut kepada Tuhan lebih besar daripada rasa takut kepada atasan atau godaan materi. Korupsi berawal dari hati yang rapuh dan ketakutan akan kekurangan rezeki. Oleh karena itu, pendekatan spiritual diyakini mampu menjadi salah satu jalan untuk memperkuat fondasi moral aparatur negara. Karena membangun negeri yang kuat harus dimulai dari membangun pemimpin yang takut hanya kepada Allah.
Bandar Lampung, 24 Desember 2025
Saeed Kamyabi
